Mohon tunggu...
Apriani Dinni
Apriani Dinni Mohon Tunggu... Guru - Rimbawati

Biarkan penaku menari dengan tarian khasnya, jangan pernah bungkam tarian penaku karena aku akan binasa secara perlahan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen (IL) | Badai Pasti Berlalu

28 Maret 2020   11:11 Diperbarui: 28 Maret 2020   18:37 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sabar sayang" itu yang sering engkau ucapkan ketika aku menangis dipangkuanmu. Ketika semua telunjuk mengarah padaku, aku bertahan karena keberadaanmu.

Tuhan mengirim engkau ketika aku berada di titik kerinduan pada Tuhanku. Ketika tak ada makhluk yang aku percaya. Engkau datang ketika airmata jatuh ke bumi, Tuhan mendengar jeritan  makhluk yang teraniaya.

Ketika bumi tertidur pulas dan rembulan bersembunyi dibalik awan. Hembusan anginpun tak terdengar, hening teramat hening. Engkau datang, tersenyum ramah kuatkan batin yang rapuh.

"Tuhan mendengar jeritanmu sayang,  bersabarlah, badai pasti berlalu".

Tersentak diri ini di atas lembaran usang yang terasa lembab oleh air mata.

"Apa mungkin Tuhan mendengar jeritanku? Ketika lembaranku penuh noda? Seperti daun kering yang terbang ditiup angin lalu jatuh ke bumi?? Apa mungkin Tuhan mendengar doaku?" batinku berontak, aku terisak teringat dosa yang kulakukan selama hidupku.

"Percayalah Tuhan kita maha mendengar dan maha pengampun, jangan pernah  engkau ragukan itu, mungkin engkau pernah mendengar cerita waktu  jaman nabi, ketika Tuhan mengampuni dosa seorang pelacur yang memberi minum seekor anjing? Apa engkau pernah membaca atau mendengar cerita itu?"

Aku terdiam, ketika Dia berpesan melalui  engkau berkata seperti itu, aku menghinakan diri sendiri dan engkau tidak suka itu, engkau selalu berbisik, "Jika engkau menghinakan diri sendiri, itu sama dengan menghinakan ciptaan Tuhan yang menciptakanmu dengan sempurna."

Aku malu, ketika mendengar engkau berkata seperti itu, tak kusangka aku akan mendengar kata--kata mutiara itu keluar dari mulut orang sepertimu.

Secara kasat mata engkau terlihat jauh dari Tuhanmu. Semakin lama aku mengenalmu, semakin sadar aku bahwa engkau adalah mutiara yang tersembunyi dan tidak semua orang di izinkan oleh Tuhan untuk melihatmu yang sesungguhnya. Di mataku engkau laksana mutiara yang terbungkus kotoran hingga walaupun engkau tergeletak di pinggir jalan orang--orang begitu enggan tuk melihatmu.


"Biarlah aku tersembunyi dari mata orang--orang yang tidak memiliki hak untuk melihat keberadaanku. Orang--orang yang selalu merasa benar dan suka menyalahkan yang lainnya. Biarlah aku dicap kotor di mata manusia lainnya, tapi tidak di mata Tuhanku. Karena sesungguhnya, ibadahku itu hanya antara aku dan Tuhanku. Dan orang lain tidak perlu tahu." itu yang sering engkau ucapkan ketika aku sering bertanya padamu.

"Bersabarlah. Jadikan salat dan sabar sebagai penolongmu. Allah sedang menguji kesabaran kita. Percayalah badai pasti berlalu, mentari akan bersinar untuk kita." 

Di dalam kesendirian aku kembali teringat dengan pesanmu, sebelum engkau kembali ke tempat sunyi. Tempat yang hanya engkau dan aku yang tahu.


Adsn1919

Catatan: cerpen ini terinspirasi dari lagu 'Badai Pasti Berlalu', semoga kita selalu dalam lindungan Tuhan YME aamiin

Cerpen ini tayang di secangkirkopibersama.com dalam versi puisi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun