Mohon tunggu...
Apriani Dinni
Apriani Dinni Mohon Tunggu... Guru - Rimbawati

Biarkan penaku menari dengan tarian khasnya, jangan pernah bungkam tarian penaku karena aku akan binasa secara perlahan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aku dan Lelaki Sampan

25 Agustus 2019   16:20 Diperbarui: 4 September 2019   14:58 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langit terlihat mendung, sepertinya hendak turun hujan, tapi aku paksakan bahwa aku harus tetap berangkat mengajar ke sekolahku pagi ini. Setelah sampai di tepi sungai, yang kulihat hanya ada satu sampan dengan seorang lelaki yang memiliki perawakan tinggi dengan rambut sedikit ikal dengan tatapan matanya yang begitu tajam.

Sekali lagi aku tatap lelaki di atas sampan yang kulihat selalu mengenakan pakaian kemeja lengan panjang yang warnanya sudah terlihat memudar itu, biasanya aku selalu menghindari naik sampan lelaki jangkung yang mengenakan celana panjang berwarna biru itu, entah kenapa dari pertama kali melihatnya, jujur saja aku sedikit takut dengan sorot matanya yang seolah-olah ingin menelan bulat-bulat tubuhku itu.

Dan pagi ini, sepertinya aku tidak punya pilihan, karena untuk sampai ke sekolah tempatku mengajar itu aku harus menggunakan sampan. Dan satu-satunya sampan yang ada di tempat ini adalah sampan milik lelaki itu.

****

Sepanjang perjalanan aku hanya diam, apalagi saat ini hanya ada aku dan lelaki bermata tajam yang di mataku sepertinya tidak pernah mengganti pakaiannya itu. 19 hari aku berada di pinggir sungai ini. Dan diam-diam aku selalu memperhatikan dirinya yang selalu menatap kepergianku dari atas sampannya itu. Menurutku, sebenarnya lelaki muda di atas sampan itu lumayan tampan.

Sambil menatap air sungai di perjalanan menuju ke arah sekolah tempatku mengajar itu, diam-diam ekor mataku melirik ke arah lelaki muda yang memiliki warna kulit kecoklatan dan sorot mata yang begitu tajam itu. Wajahku bersemu merah, merasa malu sendiri saat sadar, ternyata diam-diam lelaki yang tengah kucuri-curi pandang itu juga tengah menatap dan memperhatikan semua gerak-gerikku.

Di tengah sungai yang arusnya begitu deras pagi ini, tiba-tiba saja awan yang sedari tadi terlihat hitam itu mencurahkan air dengan deras sekali, aku gelagapan tanpa persiapan jas hujan. Di bawah siraman air hujan dan suara petir yang menggelegar, lelaki pendayung sampan itu menyodorkan jas hujan miliknya ke arahku. dengan cepat aku menerimanya untuk membungkus tas dan peralatan elektronik milikku. Masih terombang-ambing di atas sampan lelaki muda bermata tajam itu mencoba mengendalikan sampan.

Sambil menahan dingin akibat terpaan air hujan aku terus memegangi bungkusan tas dan peralatan elektonik-ku agar tidak sampai terjatuh ke dalam sungai di saat sampan sedang terombang-ambing di terjang derasnya arus sungai yang begitu kencang.

Lelaki pendayung sampan mencoba untuk tetap tenang saat pendayung sampan di tangannya itu patah, tapi aku tahu jika ia sebenarnya sedang panik dan terus berusaha mengendalikan sampan dengan sisa potongan pendayung sampan di tangannya agar sampan ini tidak sampai terbalik di hempas arus sungai yang begitu kencang. Semakin ketengah, arus sungai semakin deras, aku lihat lelaki muda yang kuperkirakan usianya di bawah usiaku itu mulai tidak bisa lagi mengendalikan sampannya. Jujur saja aku sangat ketakutan, karena aku tak bisa berenang.

Sambil berpegangan pada tepian sampan, aku menangis ketakutan. Lelaki sampan yang bajunya juga telihat basah kuyup seperti pakaianku, tersenyum sambil menatap ke arahku, sepertinya dia kasihan melihatku yang menggigil kedinginan.

Ada desiran lembut di dadaku saat melihat lelaki bermata tajam itu tersenyum lembut menatap ke arahku. Entah kenapa melihat senyumnya yang terasa begitu manis dan menggairahkan itu membuatku sejenak melupakan semua rasa takut yang sedari tadi mencengkram hati dan pikiranku. Sambil berusaha menahan keseimbangan, lelaki bermata tajam itu tersenyum sambil terus menatapku, seperti berusaha menenangkan semua ketakutanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun