Mohon tunggu...
Apriani Dinni
Apriani Dinni Mohon Tunggu... Guru - Rimbawati

Biarkan penaku menari dengan tarian khasnya, jangan pernah bungkam tarian penaku karena aku akan binasa secara perlahan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menikahlah dengan Suamiku (3)

23 Juli 2019   03:24 Diperbarui: 23 Juli 2019   07:31 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok.pribadi ADSN & 1919

Bagian Tiga

<< Sebelumnya.

"Aku mohon menikahlah, demi Putri cantik kita." Bisiknya pelan sambil menatap mata suaminya dan mataku secara bergantian.

---

Engkau dan aku saling bertatapan dan terdiam, entah  aku harus  menjawab apa pada wanita berhati tulus ini. Entah kenapa saat ini aku merasa bingung sendiri, membayangkan tudingan orang-orang nanti saat aku menikah dengan suami perempuan yang aku panggil kakak selama ini.

Engkau melihatku begitu dalam, dan mengetahui kegundahanku, aku tahu engkau merasakan hal yang sama seperti apa yang aku rasakan saat ini.

"Bang, nikahilah perempuan yang sudah Adek anggap adik ini, malam ini juga. Adek mohon demi Putri cantik kita," perempuan berhati tulus itu menatap wajah suaminya dan wajahku secara bergantian di tempat ini dengan sorot mata seolah memohon agar aku bersedia menerima pinangan suaminya itu. Ku lihat lelaki dengan sorot mata tajam itu, menganggukkan kepala dengan pelan sambil tersenyum menatap kedua mata perempuan berhati tulus yang terlihat berkaca-kaca sambil balas menatap mata suaminya itu.

Perempuan yang aku panggil kakak dan suaminya itu menatapku secara bersamaan, seolah meminta jawaban dariku. Bibirku kelu, saat ini hanya airmata yang deras mengalir di kedua pipi.

Tak kuat lama-lama berada di dalam situasi yang mengharukan ini, aku lepaskan pegangan tangan perempuan berhati tulus di atas ranjang di  kamar ICU yang sudah beberapa waktu ini di tempatinya. Tak kuasa menahan tangis aku bergegas keluar ruangan sambil menahan suara tangisanku sendiri. Di Musholla rumah sakit tempat Wanita berhati tulus itu di rawat aku tumpahkan semuanya, rasa sedih, terharu dan bimbang menjadi satu.

Usapan halus di kepala menghentikan tangisanku, aku melihat matamu berkaca-kaca saat menatap kedua mataku. Tanpa bersuara, tapi hati kecil aku dan engkau saling berbicara. Dan di Mushola rumah sakit tempat wanita berhati tulus di rawat selama ini tangisanku kembali pecah di dada lelaki bermata tajam yang istrinya memintaku untuk menerima pinangan suaminya itu. Dalam pelukannya kutumpahkan rasa haru dan rasa sedih sekaligus rasa bahagia menjadi satu.

"Apa yang kamu lakukan di tempat ini? Jangan membuat kakakmu bersedih seperti itu, dia menangis  melihatmu pergi meninggalkannya, mencarimu, jangan menangis lagi hapus airmatamu dan segeralah temui kakak dan Putri cantikmu itu," suara laki-laki bermata tajam terdengar parau berusaha menahan tangisnya sendiri saat ini.

Aku masih terdiam, engkau kembali usap airmata yang jatuh di pipiku, aku tahu saat ini terasa berat beban di pundakmu, aku dapat merasakan  itu dari helaan nafasmu. Dan engkau tak perlu mengatakannya padaku, karena aku begitu mengenalmu seperti aku mengenal diriku sendiri. Karena engkau pernah berucap padaku bahwa aku, wanita berhati tulus dan engkau adalah satu. Di matamu aku adalah dia dan dia adalah aku, tubuh boleh berbeda tapi sebenarnya kami adalah satu.

Jauh sebelum engkau menceritakan semuanya, tentang kehidupan masa laluku pada wanita berhati tulus yang sudah memberimu seorang Putri kecil yang cantik dan lucu itu, engkau dulu pernah mengatakannya padaku.

Bahwa engkau akan menikahiku, karena engkau menyayangi mereka sebagaimana engkau menyayangi aku. Saat itu engkau kembali berkata, "Terimalah aku menjadi suamimu tapi jangan pernah kamu meminta aku memilih di antara kalian berdua, karena kalian berdua di mataku adalah satu.

Sakitmu sakitnya, sakitnya sakitmu, bahagianya bahagiamu. Dan kebahagiaan kalian berdua adalah kebahagianku, begitupun dengan sakit kalian adalah sakitku juga karena kita adalah satu."

"Ayo sayang, kita temui kakakmu, jangan membuat kakakmu bertambah sedih hatinya, dia menunggumu dan sangat mengkhawatirkanmu, usah engkau pikirkan ucapan orang-orang, yang engkau takuti bahwa mereka akan mengatakan bahwa kamu wanita yang merebut suami dari wanita yang masih terbaring lemah saat ini, karena aku  dan kakakmu tahu bahwa engkau tidak pernah merebutku dari wanita yang selama ini engkau anggap sebagai kakakmu itu."

Sambil berjalan pelan, membimbing langkah kakiku menuju ke ruangan di mana wanita berhati tulus itu di rawat selama ini, engkau kembali berkata pelan di sampingku.

"Jangan dengarkan omongan orang-orang yang tidak pernah tahu keadaan yang sebenarnya di antara kita bertiga." Katamu lagi sambil terus menggengam jemari tanganku menyusuri lorong panjang rumah sakit tempat di rawat wanita berhati tulus itu. Dalam diam aku mengiringi langkah kakimu.

"Demi Putri cantik kita yang tidak pernah terlahir dari dalam rahimmu." Katamu sambil membuka pintu ruang perawatan di mana saat ini aku melihat perempuan yang aku panggil kakak itu sedang menangis di temani Putri cantik kita itu.

Tak kuasa menahan haru, aku menangis sambil memeluk wanita berhati tulus yang juga saat ini tengah menangis sambil memeluk erat tubuhku.

"Din, kakak akan bertanya sekali lagi, bersediakah engkau menjadi istri dari lelaki yang selama ini menjadi suamiku? Dan maukah engkau berjanji bahwa engkau akan menjadi ibu yang baik bagi Putri cantikku itu dan akan menganggapnya seperti anak yang terlahir dari dalam rahimmu sendiri?" Suara wanita berhati tulus itu berbisik pelan di telingaku.

-Bersambung-

ADSN & 1919

Catatan : Di buat oleh,  Apriani Dinni dan Warkasa1919. Jika ada kesamaan Foto, nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun