Aku masih terdiam, engkau kembali usap airmata yang jatuh di pipiku, aku tahu saat ini terasa berat beban di pundakmu, aku dapat merasakan  itu dari helaan nafasmu. Dan engkau tak perlu mengatakannya padaku, karena aku begitu mengenalmu seperti aku mengenal diriku sendiri. Karena engkau pernah berucap padaku bahwa aku, wanita berhati tulus dan engkau adalah satu. Di matamu aku adalah dia dan dia adalah aku, tubuh boleh berbeda tapi sebenarnya kami adalah satu.
Jauh sebelum engkau menceritakan semuanya, tentang kehidupan masa laluku pada wanita berhati tulus yang sudah memberimu seorang Putri kecil yang cantik dan lucu itu, engkau dulu pernah mengatakannya padaku.
Bahwa engkau akan menikahiku, karena engkau menyayangi mereka sebagaimana engkau menyayangi aku. Saat itu engkau kembali berkata, "Terimalah aku menjadi suamimu tapi jangan pernah kamu meminta aku memilih di antara kalian berdua, karena kalian berdua di mataku adalah satu.
Sakitmu sakitnya, sakitnya sakitmu, bahagianya bahagiamu. Dan kebahagiaan kalian berdua adalah kebahagianku, begitupun dengan sakit kalian adalah sakitku juga karena kita adalah satu."
"Ayo sayang, kita temui kakakmu, jangan membuat kakakmu bertambah sedih hatinya, dia menunggumu dan sangat mengkhawatirkanmu, usah engkau pikirkan ucapan orang-orang, yang engkau takuti bahwa mereka akan mengatakan bahwa kamu wanita yang merebut suami dari wanita yang masih terbaring lemah saat ini, karena aku  dan kakakmu tahu bahwa engkau tidak pernah merebutku dari wanita yang selama ini engkau anggap sebagai kakakmu itu."
Sambil berjalan pelan, membimbing langkah kakiku menuju ke ruangan di mana wanita berhati tulus itu di rawat selama ini, engkau kembali berkata pelan di sampingku.
"Jangan dengarkan omongan orang-orang yang tidak pernah tahu keadaan yang sebenarnya di antara kita bertiga." Katamu lagi sambil terus menggengam jemari tanganku menyusuri lorong panjang rumah sakit tempat di rawat wanita berhati tulus itu. Dalam diam aku mengiringi langkah kakimu.
"Demi Putri cantik kita yang tidak pernah terlahir dari dalam rahimmu." Katamu sambil membuka pintu ruang perawatan di mana saat ini aku melihat perempuan yang aku panggil kakak itu sedang menangis di temani Putri cantik kita itu.
Tak kuasa menahan haru, aku menangis sambil memeluk wanita berhati tulus yang juga saat ini tengah menangis sambil memeluk erat tubuhku.
"Din, kakak akan bertanya sekali lagi, bersediakah engkau menjadi istri dari lelaki yang selama ini menjadi suamiku? Dan maukah engkau berjanji bahwa engkau akan menjadi ibu yang baik bagi Putri cantikku itu dan akan menganggapnya seperti anak yang terlahir dari dalam rahimmu sendiri?" Suara wanita berhati tulus itu berbisik pelan di telingaku.