Bagian Satu
------
"Tidak!" Teriak lelaki paruh baya itu ketika mendengar permintaan seorang perempuan yang meminta  anaknya untuk menikah dengan suaminya itu.
Perempuan itu menangis, dia sengaja datang dari seberang bertiga bersama suami dan putri cantiknya, di ruang tamu itu semua terdiam, saat ini hanya terdengar isak tangis perempuan itu dan isak tangisanku.
"Aku mohon bapak mengizinkan putri bapak menikah dengan suamiku, hanya pada putrimu aku ikhlas berbagi, karena putri bapak sudah aku anggap adik, dia mampu menjaga suamiku dan menyayangi anak kami, seperti putri kandungnya," kembali kudengar suara wanita itu di sela-sela tangisannya, dia adalah perempuan baik yang sudah aku anggap seperti kakakku sendiri.
Jujur aku tidak tega melihat perempuan berhati tulus itu menangis, aku dan wanita itu berpelukan dalam tangis tatkala mendengar penolakan dari lelaki paruh baya di hadapan kami itu.
"Bunda.... ayo ikut pulang" terdengar suara anak perempuan sambil menarik tanganku. Aku peluk putri kecilku dan kembali aku larut dalam kesedihan. Aku tak bisa berkata-kata, engkau menatapku begitu dalam.
---
"Menikahlah denganku" terdengar suaramu sangat parau memohon padaku.
"Hmmmm, candaannya ga lucu" jawabku sambil tertawa.
"Aku serius sayang, aku merasakan cinta yang lain denganmu, aku yakin engkau akan menjadi istri dan ibu yang baik buat anakku," engkau berkata sambil menggenggam tanganku.
"Iya, aku memang menyayangi anakmu seperti anakku, dan putri kecilmu sudah dekat denganku, tapi...aku tidak mau menyakiti istrimu, karena dia sudah aku anggap seperti kakakku sendiri," kataku lirih.
Saat itu engkau terdiam suasana terasa hening hanya hati saling bicara.
Lelaki dengan sorot tajam dan penuh misteri, dia yang telah menghentikan pengembaraanku, dan membuatku insyaf meninggalkan masa laluku yang begitu kelam itu, hanya padanya aku berani berkata jujur dan dia tidak jijik apalagi meninggalkanku sendirian saat kuungkapkan sisi gelapku di awal perkenalanku dengannya waktu itu, dia tampung airmata dan penderitaanku.
Dia tutup batinku dari para lelaki hidung belang yang selalu mengincarku, apalagi setelah menjanda godaan tambah besar.
Engkau selalu bertanya, "Siapa kamu? Misteri apa yang ada pada dirimu? Kenapa Tuhan pertemukan kita? Mengapa engkau selalu hadir dalam mimpiku?" Rentetan tanya itu pernah kau tanyakan padaku. Dan aku juga tidak tahu kenapa harus aku.
Meski kita belum bertemu,  kita sering bicara dan akhirnya engkau tahu setelah sedikit demi sedikit misteri dalam diriku terkuak, engkau  pernah bilang bahwa Tuhan mengirim sosok aku supaya engkau belajar menerima dan belajar ikhlas.
"Jujur sebelum mengenalmu, hal ini sudah aku bicarakan dengan istriku, karena aku merasa akan hadir sosok lain sebagai istri dan ibu dari anakku, ternyata kamu hadir" bisikmu.
Aku bingung harus berkata apa, karena jujur aku juga mencintaimu, setelah suamiku meninggal, banyak pria yang melamarku, dari bujangan sampai duda, tapi hatiku tak tertarik pada mereka, semua aku tolak demi lelaki bermata tajam yang tidak seperti mereka membawa gemerlap dunia ke hadapanku kala itu.
Engkau pria yang tak pernah menjanjikan surga dunia, awal mengenalmu tak ada yang engkau tutupi kala itu, tentang istrimu juga putri kecilmu, engkau ceritakan semuanya padaku waktu itu apa adanya tanpa ada yang engkau tutupi dariku. Dan dari sekian lelaki yang aku kenal dan mencoba  mendekatiku kala itu, rata-rata mereka mencari simpatiku dengan cara menjelekkan pasangannya dan menjanjikan kesenangan dunia, tapi engkau sangat berbeda dari mereka semua.
Saat itu engkau mengajakku masuk kedalam barisan makmummu, menjadi makmummu  bersama wanita yang saat ini telah menjadi pendamping hidupmu dan juga putri cantikmu itu.
"Mas, aku mau menjadi pendampingmu, asal...,"
"Asal apa sayang?"
"Istrimu yang memintaku pada orangtuaku," pintaku mencoba menahan keinginanmu waktu itu, karena aku tahu, tak mungkin ada perempuan yang mau suaminya menikahi wanita lain, apalagi dia sendiri yang akan meminta wanita itu untuk menjadi istri suaminya yang saat itu masih sah menjadi suaminya itu.
"Boleh." jawabmu tegas.
"Seandainya istrimu keberatan, kita berteman saja dan jangan bermimpi kita bersatu" kataku pelan, sambil menundukkan wajahku dari tatapan tajam kedua matamu.
---
Percakapan tiga bulan yang lalu itu sudah aku lupakan dan aku tidak pernah menghubungimu  lagi, aku pasrahkan pada Tuhan seandainya  istrinya tak mau memintaku untuk menjadi istri suaminya, apalagi kesehatannya sedang menurun saat ini.
Tiba-tiba engkau menghubungiku meminta alamat rumah orangtuaku, aku tak langsung memberikannya saat itu, hingga sampai tiga kali engkau meminta tetap aku tak memberinya dan aku luluh ketika istrimu  yang menghubungiku lalu meminta alamat rumah orangtuaku.
Dan sekarang mereka ada dihadapanku, memintaku untuk menjadi istri bagi suaminya, di depan  Bapakku, Lelaki bermata tajam dan di depan Putri cantiknya itu, dia memintaku untuk bersedia menerima lamaran dari lelaki yang saat ini masih sah menjadi suaminya itu. Tuhan apa yang harus aku lakukan?
Bersambung
ADSN, 150719
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H