"Di enam belas dua puluh, jika tanpa campur tangan Tuhanku dan Tuhanmu tak mungkin kita bisa bertemu. Bersyukurlah tanpa kita duga Tuhan  pertemukan engkau dan aku di enam belas dua puluh ini".
"Bertemu denganmu di tempat ini masih terasa mimpi buatku, tapi tubuh nyatamu begitu nyata dihadapanku." Bisikku masih seperti tidak percaya, seraya kembali menatapmu.
"Iya, aku pun seperti mimpi bertemu denganmu, engkau Hawa-ku," katamu dengan lembut, engkau kembali  usap kepalaku dan engkau kecup keningku.
Terasa damai tubuh ini didekatmu, lelaki yang mengisi kekosongan hatiku dengan kemurnian cinta dia datang menemuiku.
Di enam belas dua puluh engkau menyadari aku punya perasaan yang sama denganmu, tubuh ini memang berjauhan tapi tidak dengan hati ini, buktinya kita baru bertemu tapi serasa pernah bertemu tak ada rasa canggung meluapkan rasa rindu. Pertemuan yang tak terduga, Tuhan wujudkan dua mimpi yang sama, mimpi engkau dan aku dalam sebuah pertemuan.
"Aku pasti akan merindukanmu," kembali aku terisak dalam pelukanmu.
"Bila engkau merindukanku, pejamkan matamu dan engkau akan melihatku menatap matamu, karena sebenarnya aku selalu berada di dekatmu, rasakanlah kehadiranku".
Engkau pegang kedua pipiku, engkau kecup keningku dengan lembut, kedua pipi dan bibirku, engkau dekap aku sepenuh hati. Damai merasuk jiwaku, andai engkau tahu aku ingin selamanya dalam dekapanmu.
---
Dua minggu yang lalu di bangku trotoar ini aku teringat pernah duduk berdua denganmu di tempat ini, kita menghirup udara pagi sambil berpegangan tangan dan dibangku trotoar ini kita bicara dari hati ke hati, tidak ada sekat tidak ada  rahasia lagi karena rahasiamu rahasiaku, kebahagiaanmu kebahagiaanku, sedihmu sedihku, kenikmatanmu kenikmatanku karena kita adalah satu, ikatan murni ini akan selalu kuat dan kita bersama selamanya, karena ikatan ini di saksikan Tuhan dan para malaikat.
Saat ini tubuhku memang disini tapi tidak dengan hati ini, mengembara bersamamu tubuh berjauhan tapi jiwa kita selalu berdekatan.