Dalam konteks demokrasi yang ideal, suara kita seharusnya memiliki kekuatan. Namun, ketika sistem itu telah dirusak oleh kepentingan-kepentingan pribadi, maka tak ada gunanya lagi kita menaruh harapan. Demokrasi yang sejatinya adalah sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bersama, kini justru menjadi alat bagi segelintir orang untuk memperkaya diri. Maka dari itu, pilihan terbaik bagi kita mungkin bukanlah memilih di antara calon-calon yang sama-sama buruk, melainkan untuk tidak memilih sama sekali. Sebagai bentuk protes terhadap sistem yang telah begitu jauh menyimpang dari tujuannya, tidak memilih bisa menjadi cara kita untuk menunjukkan bahwa kita tidak lagi bisa dibodohi oleh janji-janji manis yang kosong.
Di Aceh Tenggara, dan mungkin di banyak tempat lain di Indonesia, demokrasi sudah tidak asik lagi. Demokrasi yang dulu diharapkan bisa membawa perubahan nyata, sekarang justru terasa seperti permainan yang hanya menguntungkan mereka yang berkuasa. Maka dari itu, penting bagi kita untuk mulai meredefinisi peran kita sebagai masyarakat dalam sistem ini. Jika politisi dan elit tidak lagi bisa dipercaya, maka satu-satunya yang bisa kita andalkan adalah diri kita sendiri. Melalui kerja keras dan ketekunan, kita bisa membangun masa depan yang lebih baik, tanpa harus bergantung pada mereka yang hanya memikirkan kepentingan pribadi.
Pada akhirnya, esensi demokrasi bukan hanya terletak pada pemilu, tetapi pada bagaimana kita, sebagai masyarakat, bisa menciptakan perubahan nyata dalam kehidupan kita sehari-hari. Dan perubahan itu tidak harus datang dari para politisi, tetapi bisa dimulai dari kita sendiri.