Mohon tunggu...
Apriadi Rama Putra
Apriadi Rama Putra Mohon Tunggu... Lainnya - Lahir di Banda Aceh, 23 April 1998.

Lahir di Banda Aceh, 23 April 1998.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Demokrasi di Persimpangan: Kandidat Pilkada Aceh Tenggara Nilainya Sama Saja

14 September 2024   13:40 Diperbarui: 14 September 2024   13:40 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi Photo Apriadi Rama Putra

Demokrasi, sebuah sistem pemerintahan yang menjanjikan kebebasan dan keterlibatan langsung masyarakat dalam pengambilan keputusan, kini semakin diragukan kemurniannya. Di Aceh Tenggara, menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada), bukannya menawarkan harapan dan perubahan yang positif, suasana politik justru dipenuhi dengan serangan-serangan personal yang melenceng jauh dari semangat demokrasi yang seharusnya. 

Alih-alih memperlihatkan visi, misi, dan rekam jejak kandidat, tim sukses (timses) lebih sibuk menjatuhkan lawan dengan cara-cara yang tidak bermartabat, khususnya melalui media sosial. Situasi ini menciptakan keresahan, baik di kalangan pendukung maupun masyarakat umum, yang semakin skeptis terhadap sistem yang seharusnya menjadi tumpuan harapan rakyat.

Di era digital seperti sekarang, media sosial telah menjadi medan perang bagi para simpatisan politik. Serangan demi serangan dilakukan bukan untuk menyajikan fakta, melainkan untuk memanipulasi opini publik melalui akun-akun palsu yang tersebar luas. Menurut data yang dirilis oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Aceh Tenggara, terdapat setidaknya 24 akun palsu yang teridentifikasi aktif menyebarkan propaganda hitam, saling menjatuhkan satu sama lain dengan berbagai tudingan yang belum tentu benar. Ironisnya, alih-alih memperjuangkan kepercayaan rakyat, para kandidat dan tim sukses mereka justru terjebak dalam permainan kotor yang hanya semakin memperkeruh suasana.

Fenomena ini tidak hanya menunjukkan bagaimana demokrasi telah berubah menjadi ajang perebutan kekuasaan semata, tetapi juga menggarisbawahi betapa jauhnya kita dari esensi demokrasi yang sesungguhnya. Demokrasi yang idealnya memberikan ruang bagi masyarakat untuk memilih pemimpin berdasarkan pertimbangan matang dan rasional, kini telah terdistorsi oleh kepentingan segelintir elit politik. 

Bukan hanya sekadar mengelola pemerintahan dengan baik, tujuan para kandidat tampaknya lebih berfokus pada memperkaya diri dan kelompoknya, meninggalkan masyarakat yang seharusnya mereka layani dalam kekecewaan dan keterasingan.

Dalam pandangan saya, kondisi ini sangat memprihatinkan. Di Aceh Tenggara, tidak ada satu pun kandidat yang benar-benar layak dipercaya. Mereka semua, baik calon bupati maupun wakil bupati, seakan hanya berpura-pura peduli pada masyarakat, sementara kenyataannya mereka hanya memikirkan diri sendiri, keluarga, dan orang-orang terdekat mereka. Setiap janji yang mereka lontarkan terasa hampa, karena kita semua tahu, pada akhirnya, kepentingan pribadi akan selalu menjadi prioritas utama mereka.

Seolah tidak cukup dengan perilaku elit politik, organisasi kepemudaan dan aktivis yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengawal demokrasi, kini justru ikut terjebak dalam lingkaran korupsi moral ini. Mereka, yang seharusnya menjadi representasi dari perubahan dan harapan, malah berubah menjadi entitas yang tak berbeda jauh dengan para politisi korup yang mereka kritik. 

Semua tampak seperti "hantu" yang hanya berkeliaran mencari keuntungan pribadi, meninggalkan kepentingan masyarakat di belakang. Hakikat dari keberadaan manusia yang seharusnya berguna bagi orang lain, tampaknya telah luntur, digantikan oleh semangat individualisme yang berlebihan.

Kenyataan pahit ini membuat saya, dan mungkin banyak masyarakat Aceh Tenggara lainnya, merasa muak dengan semua ini. Demokrasi yang seharusnya membawa perubahan, sekarang justru terasa semakin jauh dari jangkauan. Rakyat bukan lagi subjek utama, melainkan hanya sekadar angka yang bisa dimanipulasi untuk memenuhi ambisi politik para elit. Seiring dengan semakin banyaknya janji kosong yang ditebar, masyarakat mulai kehilangan kepercayaan pada sistem demokrasi itu sendiri.

Pesan saya kepada masyarakat Aceh Tenggara sederhana saja: berhenti berharap pada para politisi ini. Alih-alih terjebak dalam pusaran pemilihan yang hanya akan menguntungkan segelintir orang, lebih baik kita fokus pada kehidupan kita sehari-hari. Petani, teruslah bertani. Peternak, teruslah beternak. Jangan biarkan diri kita terseret dalam permainan politik yang hanya memanfaatkan suara kita tanpa memberikan timbal balik yang nyata. Pada akhirnya, kita sebagai masyarakat hanyalah angka di atas kertas bagi mereka. Setelah pemilihan selesai, tidak ada yang peduli dengan nasib kita.

Dalam konteks demokrasi yang ideal, suara kita seharusnya memiliki kekuatan. Namun, ketika sistem itu telah dirusak oleh kepentingan-kepentingan pribadi, maka tak ada gunanya lagi kita menaruh harapan. Demokrasi yang sejatinya adalah sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bersama, kini justru menjadi alat bagi segelintir orang untuk memperkaya diri. Maka dari itu, pilihan terbaik bagi kita mungkin bukanlah memilih di antara calon-calon yang sama-sama buruk, melainkan untuk tidak memilih sama sekali. Sebagai bentuk protes terhadap sistem yang telah begitu jauh menyimpang dari tujuannya, tidak memilih bisa menjadi cara kita untuk menunjukkan bahwa kita tidak lagi bisa dibodohi oleh janji-janji manis yang kosong.

Di Aceh Tenggara, dan mungkin di banyak tempat lain di Indonesia, demokrasi sudah tidak asik lagi. Demokrasi yang dulu diharapkan bisa membawa perubahan nyata, sekarang justru terasa seperti permainan yang hanya menguntungkan mereka yang berkuasa. Maka dari itu, penting bagi kita untuk mulai meredefinisi peran kita sebagai masyarakat dalam sistem ini. Jika politisi dan elit tidak lagi bisa dipercaya, maka satu-satunya yang bisa kita andalkan adalah diri kita sendiri. Melalui kerja keras dan ketekunan, kita bisa membangun masa depan yang lebih baik, tanpa harus bergantung pada mereka yang hanya memikirkan kepentingan pribadi.

Pada akhirnya, esensi demokrasi bukan hanya terletak pada pemilu, tetapi pada bagaimana kita, sebagai masyarakat, bisa menciptakan perubahan nyata dalam kehidupan kita sehari-hari. Dan perubahan itu tidak harus datang dari para politisi, tetapi bisa dimulai dari kita sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun