Apriadi Rama Putra
Praktisi Sekolah Kita Menulis (SKM) Cabang Aceh Tenggara  Â
Dalam sorotan kemerdekaan Indonesia, sebuah ironi berat melanda saat kita menggali kembali sejarah revolusi kaum muda Indonesia. Kaum muda telah mengemukakan identitas mereka sebagai pionir kemerdekaan jauh sebelum gemuruh proklamasi pada 17 Agustus 1945.Â
Tanggal 28 Oktober 1928 mengukuhkan deklarasi kaum muda sebagai individu yang berani mengukir takdir sendiri, 17 tahun sebelum zaman Bung Karno, Syahrir dan kawan-kawan mengumandangkan kemerdekaan. Â Â
Namun, sungguh ironis melihat bagaimana semangat dan perjuangan para pendahulu kita telah tenggelam di tengah lautan kebosanan dan ketidaksadaran akan sejarah.Â
Di tengah kemajuan teknologi dan informasi yang tak terbendung ini seharusnya menjadi cahaya semangat bagi generasi muda saat ini, terutama di era digitalisasi dan informasi yang semakin pesat, para pemuda yang seharusnya menjadi penjaga sejarah dan budaya bukan malah sebaliknya.Â
Kita menyaksikan keheningan yang menguburkan jeritan para pahlawan yang telah memberikan segalanya untuk negeri ini sampai terperangkap dalam arus kepentingan politik pribadi yang tidak berujung pada kesejahteraan masyarakat. Â Â
Pertanyaan yang mengemuka adalah dimana arah kita sesuai dengan amanat konstitusi? Kita selalu menekankan pentingnya mengulik dan merasakan kondisi sesuai dengan apa yang kita saksikan, namun mengapa kita masih terlena dalam kesunyian yang tak berujung?Â
Generasi muda Aceh Tenggara harus bangkit dari tidurnya yang lelap. Kita harus menyadari bahwa kita adalah pewaris dari perjuangan besar yang telah dilakukan sejak zaman dulu. Dimana letak kesalahan? Siapa yang harus bertanggung jawab atas kehancuran moral dan sosial ini? Mengapa generasi muda sekarang tampak lalai terhadap sejarah dan budaya?Â
Organisasi kepemudaan seperti Karang Taruna dan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), seharusnya menjadi panggung bagi aspirasi rakyat, pengemban idealisme pemuda, memajukan budaya dan melindungi warisan nenek moyang kita.Â
Namun sayangnya terperangkap dalam web politik yang kotor, menjadi korban politik dan boneka oligarki politik yang tak berperasaan. Generasi hari ini menjadi alat untuk kepentingan golongan tertentu yang bermain-main dengan nasib rakyat. Â Â
Saatnya bagi kita untuk menggali kembali akar budaya yang hampir punah di tengah hiruk pikuk kehidupan modern. Kita telah terlalu lama terbuai oleh kegemerlapan dunia digital sehingga melupakan akar budaya yang telah memberi kita identitas. Seperti; budaya peleubat, mesekat, tangis dilo dan melagam dan masih banyak lainnya yang harus dijunjung tinggi bukan hanya sebagai tontonan belaka bahkan hampir tidak terlihat sama sekali lagi hari ini. Â Â
Generasi muda Aceh Tenggara harus bangun dari kehampaan ini. Kita harus sadar akan nilai-nilai budaya dan sejarah, bukan hanya sebagai formalitas belaka. Budaya seperti jagai, antat takhukh, pemamanen serta mepakhukh, merupakan warisan berharga yang harus dijaga dengan penuh kesadaran.Â
Namun, ironisnya, hanya sedikit dari generasi milineal dan generasi Z yang benar-benar memahami dan peduli akan pentingnya warisan budaya ini dan Jangan biarkan generasi mendatang hanya mengenal budaya kita lewat pelaku dongeng-dongeng sejarah yang tidak bertanggung jawab dan yang membosankan.Â
Dengan kehadiran PON 2024 di Aceh Tenggara, saatnya bagi organisasi kepemudaan dan pemerintah terkait untuk bersatu dan bertindak tegas menghadapi krisis moral dan budaya ini.Â
Kita memiliki kesempatan emas untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa budaya kita memiliki daya tarik dan makna tersendiri, Namun, hal ini hanya akan menjadi kenyataan jika kita bersatu dan bertindak bersama. Namun, selama didalam tubuh organisasi kepemudaan dan pemerintah terkait oligarki masih merajalela, mimpi ini hanya akan menjadi ilusi semata.Â
Jangan biarkan para pemuda menjadi korban alat dalam ambisi politik. Pemuda/l adalah aset terbesar bangsa ini. Saatnya untuk mengubah narasi dan menjadikan pemuda sebagai agen perubahan yang bertanggung jawab, bukan sekadar penonton dalam pertunjukan politik yang kotor. Inilah saatnya untuk bertindak! Kita adalah generasi yang ditakdirkan untuk membawa perubahan. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan melakukannya? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Â "It's Time".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H