Mohon tunggu...
Aprelia Natasya
Aprelia Natasya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi membaca, belajar menulis, dan mencari relasi. Motto “ To get something you’ve never got, you have to do something you never did”.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menyikapi Fenomena "Ulama Instan" di Indonesia

5 Desember 2024   19:41 Diperbarui: 5 Desember 2024   20:18 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia, dengan populasi mayoritas Muslim, telah lama menjadi negara yang kaya akan tradisi keislaman. Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, menjadi benteng keilmuan yang menghasilkan banyak ulama berintegritas. Ulama-ulama ini biasanya diakui karena pengetahuan agama yang mendalam, akhlak yang baik, serta peran mereka dalam membimbing umat.

Namun, dalam beberapa waktu terakhir, terjadi pergeseran yang memunculkan fenomena "ulama instan"- individu yang tanpa latar belakang keilmuan agama yang kuat dan mendalam mengklaim dirinya sebagai tokoh agama. Fenomena ini menciptakan tantangan baru bagi masyarakat Muslim di Indonesia. Tidak hanya mencoreng citra Islam di mata publik, tetapi juga memicu berbagai polemik di tengah masyarakat.

Salah satu contoh yang baru-baru ini cukup menyita perhatian masyarakat adalah kasus seorang tokoh bernama Gus Miftah. Ia dikenal sebagai seorang dai dengan gaya komunikasi yang santai, tetapi sering menimbulkan kontroversi. 

Gus, gelar yang umumnya diberikan kepada keturunan kiai atau tokoh pesantren, kini sering digunakan tanpa dasar yang jelas. Bahkan, ada yang menggunakannya untuk hal-hal yang dinilai tidak perlu, seperti memberikan gelar ini sebagai bentuk 'giveaway,' termasuk kepada mereka yang sama sekali tidak memahami nilai-nilai agama atau bahkan kepada mereka yang bukan beragama Islam. 

Dalam sebuah peristiwa, Gus Miftah menuai banyak kritik dan komentar karena mengucapkan kata-kata yang dianggap kurang pantas kepada seorang penjual es teh yang hadir di majelisnya. Ucapan tersebut dinilai tidak sesuai, terutama dari seorang yang diharapkan menjadi panutan. 

Terlebih lagi, ia baru saja dilantik sebagai utusan presiden di bidang kerukunan beragama dan pembinaan sarana keagamaan, tetapi tindakannya justru dianggap minim toleransi terhadap sesama. Kasus ini mencerminkan masalah yang lebih luas, yaitu bagaimana gelar dan citra agama dapat disalahgunakan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Mengapa Fenomena Ini Terjadi?

Fenomena "ulama instan" ini tidak hanya muncul akibat kurangnya kontrol sosial terhadap siapa yang dapat dianggap sebagai ulama, tetapi juga karena adanya beberapa individu yang memanfaatkan agama untuk kepentingan pribadi. Beberapa bahkan melakukan tindakan yang jauh dari nilai-nilai Islam, seperti perilaku asusila dengan dalih agama atau menyebarkan ajaran radikal yang berkedok jihad. Fenomena ini menunjukkan celah besar dalam pemahaman dan literasi agama masyarakat, yang mudah terpesona oleh tampilan luar tanpa mempertimbangkan substansi keilmuan. Selain itu, ada sejumlah faktor utama yang memengaruhi munculnya fenomena ini:

1. Minimnya Literasi Agama di Kalangan Masyarakat

Banyak masyarakat Indonesia yang beragama Islam hanya secara formal - Muslim KTP. Tanpa pemahaman mendalam, mereka mudah terpengaruh oleh figur-figur yang tampil meyakinkan. Peci, sorban, gamis, atau bahkan kemampuan berbicara yang persuasif sering kali cukup untuk memberikan kesan religius, meskipun tidak didukung oleh pengetahuan agama yang memadai.

2. Kekaguman pada Retorika dan Penampilan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun