Begitu halnya dengan Soekarno. Mereka yang sezaman dengan Soekarno dengan mudah bisa mengenai Soekarno dari dimensi historisnya. Bagi mereka Soekarno sebagai orang hebat yang memiliki jasa besar bagi Indonesia ia juga adalah Bapak Otoriterianisme. Bagi mereka Soekarno adalah sosok historis dengan puja dan celaannya. Dan Adnan Buyung Nasution perlu dicatata karena melalui disertasi doktornya mendokumentasikan dengan baik sosok historis Soekarno sebagai pemotong Demokrasi Konstitusional dan Pendiri Otoritarianisme bermerek Demokrasi terpimpin.
Namun di depan anak-anak bangsa yang baru lahir atau melek politik setelah zaman Soeharto lewat, Soekarno hanya bisa dikenali dari sosok mitologisnya. Inilah yang kemudian bisa menjelaskan mengapa anak-anak muda yang mengaku pro demokrasi secara ironis menggunakan kaos oblong bergambar Soekarno. Seolah-olah Soekarno adalah bapak Demokrasi. Soekarno kembali membesar setelah ia dipanggil pulang oleh Tuhan dan meninggalkan selimut mitos yang membungkusnya abadi.
Begitulah mitos bisa sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Mitos boleh jadi diperlukan misalnya untuk memanfaatkan kepahlawanan, mitologis sebagai energi pembangkit semangat kebangsaan. Namun sejatinya masyarakat yang sehat adalah yang bisa meminimalisir mitos sebagai instrumen rekayasa sosial.
Minggu 11 juli 1999
"Mencintai Indonesia dengan Amal" Refleksi atas Fase Awal Demokrasi
Eep Saefullah Fatah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H