Mohon tunggu...
Aprelia Amanda
Aprelia Amanda Mohon Tunggu... -

line: Apreliamanda apreliaa.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dibalik Pernyataan "Orang Baik Cepat Mati"

17 Januari 2016   13:13 Diperbarui: 17 Januari 2016   13:24 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Nelson Mandela adalah legenda hidup bagi rakyat Afrika Selatan. Ia pejuang anti apartheid yang sangat gigih sejak usia muda. Perjuangan itu kemudian membawanya ke penjara selama 27 tahun. Nelson mendekam di penjara rezim apartheid dengan perlakuan yang tidak manusiawi.

Penjara selain mewariskan sejumlah penyakit, membuat Mandela mengalami mitologisasi. Mandela terkurung jauh dari realitas. Ia tak bisa berbuat apa apa. Namun namanya semkin hari semakin membesar. Ketiadaan persentuhan Mandela dengan alam nyata justru membuat sosoknya semakin melambung. Mandela pun kemudian dipahami banyak orang bukan sebagai sosok historis tapi mitologis.

Media massa terutama media massa internasional yang terus menyoroti pemenjaraannya sebagai kasus antidemokrasi dan penginjak-injakan hak asasi justru makin menyuburkan mitologis ini. Alhasil Mandela lebih dikenali sebagai seorang lelaki pahlawan yang melebihi manusia biasa. Jiwa raganya hanya dipenuhi oleh semangat perlawanan politik apartheid, tak pernah mengeluh dan tahan uji dalam segala hal.

Mandela mengalami mitologisasi di mata orang banyak tak terkecuali isterinya Winnie Mandela, isterinya yang senantiasa "menemani" Mandela dari luar tembok penjara, di alam nyata. Winnie memahami Mandela persis sama seperti pemahaman orang pada umumnya, tidak dalam sosok historisnya melainkan sosok mitologisnya sebagai sang lelaki pahlawan besar yang kehebatannya melewati batas-batas manusia biasa.

Ketika Mandela akhirnya keluar dari penjara, bertemulah Mandela dengan Winnie dengan bahaya sebuah mitos. Tak begitu lama setelah Mandela menghirup udara bebas di rumahnya dan Winnie tak lagi bersusah payah untuk bertemu Mandela seperti 27 tahun sebelumnya, sosok Mandela justru mengalami demitologisasi. Mandela semakin historis seperti manusia biasa.

Mandela ternyata laki-laki yang sensitif, cepat marah, kerap kali memberantakan meja makan secara "tak bertanggung jawab". Winnie yang terlanjur memahami Mandela dengan sosok mitologisnya sebagai pahlawan besar mengalami keterkejutan dan shock yang luar biasa. Baju-baju mitologis yang menyelimuti Mandela perlahan tapi pasti tertinggalkan. Makin hari yang ditemuinya di rumah hanyalah sosok laki-laki biasa bukan pahlawan besar yang sesekali dibesuknya dipenjara. Hal inilah yang membawanya ke perceraian. Pasangan yang dipuja-puja seluruh dunia justru bercerai setelah tak lama Mandela keluar dari penjara.

Mandela dan Winnie bertemu dengan bahaya sebuah mitos, yakni keterkejutan dan lunturnya ikatan emosional setelas sosol mitos makin lama makin menjadi historis.

Pelajaran berharga dari Mandela adalah bahwa betapa nikmat memang hidup di alam mitologis. Namun celakanya, alam mitologis adalah alam yang amat sementara. Ketika ia berganti menjadi alam historis, maka kenikmatan itu ternyata hanyalah semacam gejala mabuk. Di situ tidak ada rasionalitas yang ada hanya emosi.

Merujuk pada alam mitologis dan historis, boleh jadi anggapan orang Indonesia "orang baik selalu mati lebih awal" itu benar. Bukan karena hubungan sebab akibat,bukan karena orang itu baik maka cepat mati tapi lantaran orang yang cepat mati tidak sempat dikenali sosok historisnya secara luas dan dalam. Keburukan atau sosok historis orang orang yang mati muda tak sempat dikenali orang.

Begitulah tokoh-tokoh yang mati muda akhirnya aman tertidur dalam banyak mitos. Tengok saja RA Kartni, Jendral Soedirman, atau tokoh intelektual aktivis angkata 66 Soe Hok Gie. Tokoh-tokoh itu terasa bersih antara lain karena "kurang historis". Selimut mitologisnya belum banyak tersingkap oleh waktu.

Pendeknya, setiap orang yang mengamankan diri dalam penjara mitologis memang cenderung mudah dipuja-puji sebagai orang besar. Namun ketika ia menjadi semakin historis maka semakin mengerdillah sosoknya.

Begitu halnya dengan Soekarno. Mereka yang sezaman dengan Soekarno dengan mudah bisa mengenai Soekarno dari dimensi historisnya. Bagi mereka Soekarno sebagai orang hebat yang memiliki jasa besar bagi Indonesia ia juga adalah Bapak Otoriterianisme. Bagi mereka Soekarno adalah sosok historis dengan puja dan celaannya. Dan Adnan Buyung Nasution perlu dicatata karena melalui disertasi doktornya mendokumentasikan dengan baik sosok historis Soekarno sebagai pemotong Demokrasi Konstitusional dan Pendiri Otoritarianisme bermerek Demokrasi terpimpin.

Namun di depan anak-anak bangsa yang baru lahir atau melek politik setelah zaman Soeharto lewat, Soekarno hanya bisa dikenali dari sosok mitologisnya. Inilah yang kemudian bisa menjelaskan mengapa anak-anak muda yang mengaku pro demokrasi secara ironis menggunakan kaos oblong bergambar Soekarno. Seolah-olah Soekarno adalah bapak Demokrasi. Soekarno kembali membesar setelah ia dipanggil pulang oleh Tuhan dan meninggalkan selimut mitos yang membungkusnya abadi.

Begitulah mitos bisa sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Mitos boleh jadi diperlukan misalnya untuk memanfaatkan kepahlawanan, mitologis sebagai energi pembangkit semangat kebangsaan. Namun sejatinya masyarakat yang sehat adalah yang bisa meminimalisir mitos sebagai instrumen rekayasa sosial.

Minggu 11 juli 1999
"Mencintai Indonesia dengan Amal" Refleksi atas Fase Awal Demokrasi
Eep Saefullah Fatah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun