Jakarta | Kemelut antara pekerja JICT dan PT. Pelindo II yang dilatarbelakangi pemecatan 2 orang pekerja Jakarta International Container Transportation (JICT) oleh PT. Pelindo II, dikabarkan akan berlanjut ke meja hijau. Siang ini, Jum’at, (7/8) pihak pekerja akan mendaftarkan gugatan kasus ini ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat selepas Sholat Jum’at, seperti dilansir dari siaran pers pekerja JICT.
Adapun yang menjadi penggugat dalam gugatan yang akan didaftarkan tersebut, adalah dua orang. Yakni, FX Arief Poyuono (Ketua Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu) dan Haris Rusli (Ketua Petisi 28). Sementara yang akan digugat adalah Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Kementrian Perhubungan, Pelindo II dan Hutcison Port Holding (HPH).
Gugatan tersebut dilakukan dengan alasan adanya dugaan pelanggaran terhadap Pasal 22 UU No. 5/1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, serta UU No. 17/2008 Tentang Pelayaran.
Sebelumnya, Anggota Komisi IX DPR RI, Irma S. Chaniago, di hadapan ratusan pegawai JICT yang berdemo hingga akhir Juli 2015, berjanji membantu menyelesaikan konflik soal perpanjangan privatisasi JICT antara Pelindo II/IPC dan HPH. Menurut informasi yang didapatkan SP JICT, kontrak yang akan diperpanjang 20 tahun ke depan itu, dianggap terlalu murah karena hanya bernilai US$ 215 Juta. Padahal, menurut serikat pekerja, diperkirakan pendapatan PT Pelindo II saat perpanjangan dilakukan akan meningkat lebih dari 300 persen. Dengan Asumsi tersebut, maka SP JICT beranggapan seharusnya bernilai US$ 243 juta dalam klausul perpanjangan kontrak.
Atas hal tersebut, Irma menyatakan pendapatnya bahwa PT Pelindo harus berkoordinasi serta mendapatkan persetujuan dari Menteri BUMN dan Menteri Perhubungan untuk perpanjang kontrak. “Dalam melakukan privatisasi aset negara itu setidaknya juga harus ada pihak pemerintah dan DPR (Komisi 6), selain kedua kementerian tersebut. Selain itu, juga prosesnya (privatisasi) harus dilakukan secara transparan,” jelas Politisi NasDem itu.
Apabila perpanjangan kontrak yang dimaksud berpotensi merugikan negara, sebaiknya konsensi atau kesepakatan ditinjau kembali oleh PT Pelindo II. “Saya pribadi tidak menolak kerjasama konsensi dengan investor asing sepanjang saling menguntungkan. Permasalahan ini tidak boleh terjadi menang-menangan, dimana yang satu pihak merasa menang dan satu pihak dikalahkan. Sangat disayangkan JICT ini sendiri asset negara yang harus dijaga oleh semua pihak agar memberi manfaat bagi Indonesia,” tandasnya.
Selain itu, kata Irma, konflik JICT perlu diluruskan. Kementrian Perhubungan tidak ikut menjual asset Negara, karena perpanjangan Konsesi JICT justeru tidak melibatkan Kemenhub. Konsesi hanya dilakukan oleh Direktur Utama (Dirut) Pelindo II atas persetujuan Meneg BUMN dengan beberapa syarat tetapi syarat yg diminta oleh Meneg ditengarai juga tidak ditaati oleh Dirut Pelindo II, tutup Irma.
Tender Konsensi Pengoperasian JICT dilaporkan ke KPPU
Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu (FSPBB) melaporkan empat institusi negara ke Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU). Keempat intitusi itu diduga bersekongkol memenangkan tender perusahan Hutchison Port Holding (HPH) untuk mengoperasikan Jakarta International Container Terminal (JICT).
FSP BUMN Bersatu baru saja melaporkan dugaan persekongkolan tender yang dilakukan dalam kasus pemberian konsesi operasi dan perawatan JICT kepada HPH yang proyeknya akan berjalan selama 20 tahun, dimulai 2019 sampai 2039," ke KPPU.
Empat institusi yang mereka laporkan adalah; Direksi PT Pelindo II, Menteri BUMN yang bertindak sebagai pemegang saham, PT HPH sebagai peserta tender, dan Menteri Perhubungan yang diketahui memiliki kuasa untuk memberikan konsesi terhadap suatu perusahaan.
Modus persengkokolan dilakukan dengan mengikutsertakan PT HPH sebagai peserta tunggal dalam tender operator JICT.
"Patut dicurigai adanya praktek nepotisme dan mengakali UU tentang Pelabuhan dan UU Pelayaran karena diduga ada kejanggalan proses perpanjangan konsesi JICT mengingat harga jualnya di 2014 lebih rendah ketika dilakukan privatisasi. Proses ini hanya sebesar USD200 juta sementara di 1999, konsensi JICT dijual dengan harga USD243 juta.
Penunjukkan Hutchison pun telah melalui tender yang diduga ada persekongkolan tender dan itu diperkuat dengan laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan tim oversight committee yang dibentuk Pelindo II untuk mengawasi proses tender perpanjangan JICT sudah merekomendasi ekstensi konsesi JICT lewat mekanisme lelang terbuka agar tercapai harga optimum.
Pelindo 2 diGuagat di PN Jakarta Pusat
Akhir pemberian konsensi pengelolaan JICT pada Huntchinson Port Holding ( HPH)digugat di PN Jakarta Pusat oleh Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu yang diwakili oleh Ketua Umum nya FX Arief Poyuono Dan Haris Rusli, seorang Warga Negara Indonesia Dengan Mekanisme Citizen Lawsuit, Dengan nomer Gugatan 349/PDT/2015/PNJKTPST Tgl 7 Agustus.
Unsur Perbuatan Melawan hukum yangdilanggar para tergugat adalah Melanggar UUD 1945 Pasal 33, UU BUMN,UU No.17 Thn 2008 Tentang Pelayaran & UU Nomor 5 Thn 1999 Tentang Persaingan Usaha.
Para Pengugat memohon majelis Hakim PN Jakpus Untuk memutuskan Menyatakan Para Tergugat bersalah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur Pasal 1365 KUH Perdata,Menghukum Tergugat I untuk membatalkan tender Pengoperasian dan Pemeliharaan JICT Tanjung Priok Tahun 2014;, Menghukum Pelindo 2 untuk membatalkan HPH sebagai pemenang tender Pengoperasian dan Pemeliharaan JICT Tahun 2014;. Menghukum Pelindo 2 membatalkan konsesi pengelolaan JICT dari tahun 2019-2039 Pada HPH.
Untuk diketahui, Tuntutan utama dalam gugatan ini adalah agar Pelindo II dihukum untuk membatalkan perpanjangan konsesi tersebut. Selain itu kami juga meminta agar HPH dilarang untuk mengikuti tender ulang yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Perhubungan. Penggugat berharap agar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjadikan perkara ini sebagai prioritas untuk segera disidangkan dan diputus karena gugatan ini merupakan langkah konkrit penyelamatan aset Negara, tegas FX Arief Poyuono yang juga Ketua Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu.
Potensi Kerugian Konsensi JICT dan TPK Koja diberikan pada Huntchunson Port Holding
Keuntungan perusahaan selama 25Tahun( 5 tahun masa sisa ditambah perpanjangan ) - dikurangi rental fee yang harus dibayarkan oleh Huntchinson Port Holding kepada PT Pelindo2 Terkait KSO TPK Koja adalah 2.779.716.535 US $ - 875.000.000 US $=1.904.716.535 maka berdasarkan jumlah share konsensi dmasing masing mendapatkan Share IPC/Pelindo 2 di TPK Koja 51% mendapatkan US $ 971.405.432,85 dan Share HPH 49 % mendapatkan US $ 933.311.102,15
Keuntungan perusahaan selama 25Tahun( 5 tahun masa sisa ditambah perpanjangan ) - dikurangi rental fee yang harus dibayarkan oleh Huntchinson Port Holding kepada PT Pelindo2 Terkait JICT adalah 7.689.068.881 US $ - 2.125.000.000 US $ = 5.564.068.881 US $ maka berdasarkan jumlah share konsensi dmasing masing mendapatkan Share IPC/Pelindo 2 di JICT dengan kepemilikan Share IPC/Pelindo 2 adalah 49 % di JICT 2.726.393.752 US $ dan Share HPH 51 % mendapat keuntungan 2.837.675.129 US $
Potensi kehilangan pendapatan dari pengelolaan 2 terminal JICT dan TPK Koja yang dialami negara selama 25 tahun dengan membagi keuntungan kepada pihak asing /Huntchinson Port Holding yang tanpa melakukan investasi adalah sebesar 7.689.068.881 US $ - 2.125.000.000 US $ = 5.564.068.881 US $ jika Dengan asumsi kurs IDR 12.000/US $,-, maka akan diperoleh hasil Rp.43.916.458.247.751 dan jika dirata takan pertahun maka potensu negara kehilangan pendapatan melalui usaha Pelindo 2 adalah 1,8 Trilyun /tahun
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI