Mohon tunggu...
Sutrisno
Sutrisno Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker Komunitas

Entrepreneur tata graha akreditasi, sedang belajar di Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Era Disrupsi Teknologi, Masih Pentingkah Pendidikan Formal?

25 Oktober 2019   01:19 Diperbarui: 26 Oktober 2019   12:09 5883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi belajar di luar kelas. (Sumber: iStockphoto/AGrigorjeva)

Istilah disrupsi atau era disrupsi yang sering muncul dalam kosakata keseharian masyarakat belakangan ini dapat diartikan sebagai pergeseran fundamental aktifitas masyarakat, dari aktifitas nyata menuju aktifitas digital yang sifatnya cenderung maya.

Fenomena ini didukung, diawali dan ditandai dengan amat cepatnya perkembangan teknologi yang semakin memudahkan manusia. Dampak dari pesatnya kemajuan teknologi inilah yang melahirkan istilah revolusi digital, atau revolusi industri 4.0.

Ketika dulu teknologi menjadi media yang memudahkan manusia dalam memenuhi aktifitas. Kini teknologi telah mengubah wajah lebih dari separuh sendi aktifitas kehidupan manusia.

Sebagai contoh dari mulai gaya hidup, media komunikasi, seni dan hiburan, transportasi, persaingan kerja, dan secara makronya tentu adalah revolusi besar dalam dunia bisnis.

Belakangan nampaknya dampak sosial disrupsi teknologi ini mulai menggugat makna atau arti pentingnya sebuah pendidikan formal terhadap eksistensi kehidupan generasi di masa kini. Apa itu eksistensi dalam kehidupan sosial?

Eksistensi dalam kehidupan sosial dapat diartikan sebagai perwujudan "keberadaan" manusia dalam masyarakat, keberadaan ini lebih pada pengakuan seseorang itu ada atau aktual atau diakui keberadaannya dalam masyarakat sosial.

Dalam kultur sosial masyarakat yang berlaku di era sekarang keberadaan manusia secara sosial  (baca:eksistensi atau aktualisasi) akan ditentukan oleh status sosial : pendidikan, pekerjaan, popularitas, penghasilan, pangkat, maupun jabatan. Pengakuan sosial atas aspek ini begitu kuat di kalangan masyarakat dan masih berlaku hingga sekarang. 

Era disrupsi teknologi banyak memunculkan wajah-wajah baru yang bisa dianggap mewakili icon generasi baru dari yang internasional semisal Jack Ma, Nadiem Makarim, Achmad Zaky, William Tanuwijaya, bahkan sampai ke Ria Ricis dan Pak Ndul sang Ahlinya Ahli dan Intinya Inti.

Sebenarnya di luar deretan nama-nama tersebut, masih terdapat ribuan generasi muda yang terdampak secara positif oleh disrupsi teknologi ini secara signifikan.

Revolusi teknologi menggugat pendidikan formal. 

Jika sebuah nilai eksistensi  sosial bisa perlahan digeser ke ranah digital dan mampu menghasilkan generasi yang eksis secara parameter sosial, pertanyaan mendasarnya adalah, lantas apa gunanya pendidikan formal? Butuh waktu lebih dari 20 tahun untuk menyelesaikan pendidikan formal (mungkin) dari taman kanak-kanak sampai mendapatkan jenjang Strata 2.

Ada anggapan yang kuat bahwa eksistensi diri secara sosial bisa dengan mudah didapatkan tanpa harus memiliki gelar akademik yang berderet. Disisi lain kurikulum pendidikan yang ada sekarang belumlah sepenuhnya mampu membekali peserta didik untuk mampu eksis dalam era disrupsi teknologi seperti sekarang.

Bukankah jika kita bisa trending di Youtube semua embel-embel akademis itu tidak akan berarti apapun? Menurut hemat penulis, ada empat catatan  yang dipahami sebelum kita berpikir untuk mengerdilkan makna dari pentingnya pendidikan formal di era sekarang ini.

ilustrasi Disrupsi. (sumber: bizjournals.com)
ilustrasi Disrupsi. (sumber: bizjournals.com)
Pertama, pendidikan adalah awal dari lahirnya disrupsi teknologi. 

Era disrupsi teknologi ini lahir oleh generasi-generasi yang hingga kini masih terus berinovasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan melalui jenjang pendidikan. Dan tanpa ada bekal pendidikan yang memadai, menurut hemat penulis revolusi industri ini tidak akan terjadi.

Lahirnya sebuah perubahan pola pasti diawali oleh proses pembelajaran yang baik dan berkesinambungan. 

Terlalu dangkal apabila beberapa kelompok hanya melihat hasil dari sebuah content atau output sebuah bisnis berbasis digital tanpa mau melihat sejauh mana pendidikan turut mempengaruhi proses terbentuknya sebuah bisnis yang  digital yang begitu diagung-agungkan ini.

Pendidikan formal-lah yang turut menciptakan mindset digital di kalangan generasi muda saat ini. Terlalu prematur jika kita hanya melihat pak Ndul dari sisi jumlah follower dan conten Youtube yang dibuatnya. Juga (misal) Ria Ricis. Yang kita lihat dari mereka mungkin hanya di ujungnya : penghasilan yang besar, fans dan penggemar yang diwakili oleh jumlah follower sebagai strata sosial di dunia maya.

Kedua, pendidikan formal membentuk karakter akademis pada seseorang. 

Karakter akademis ini meliputi segala aspek yang turut berpengaruh terhadap perilaku manusia dalam menciptakan, membaca dan berinovasi. Karakter akademis ini pula yang menghasilkan pemikiran dan proses bagaimana seseorang bisa eksis di dunia maya dan dunia nyata.

Karakter akademis ini bisa meliputi pola pikir, lingkungan, gaya hidup, pergaulan sosial, dan juga relationship yang akan berbeda antara seorang yang berada dalam lingkungan akademis dan yang tidak berada dalam lingkungan akademik (baca:tidak sekolah)

Ketiga, disrupsi teknologi belum menyentuh ke disrupsi pola pikir masyarakat. 

Pola pikir yang ada di kultur masyarakat saat ini menempatkan secara berurutan, pendidikan, status pekerjaan, pangkat, maupun jabatan sebagai parameter mutlak sebuah nilai eksistensi secara sosial. Masalah penghasilan dan popularitas belakangan.

Mulanya sekolah, untuk apa? Mendapatkan pekerjaan, yang penting kerja saja dulu, gaji kecil tidak apa-apa, dan seterusnya. Pola pikir sosial dalam masyarakat seperti ini masih berlaku dan mengakar kuat dalam kultur masyarakat sampai saat ini. Dengan demikian untuk eksis dalam parameter sosial kita tetap membutuhkan pendidikan formal. 

Keempat, wahai anak-anak muda, sekolah setinggi mungkin.

Peluang, gaya hidup, inovasi dan keberhasilan eksistensi sosial itu hanya faktor ikutan saja ketika kamu berada dalam lingkungan yang akademik. 

Analoginya: seorang anak yang yang tidak mendapatkan bekal akademik yang cukup, maka dia bisa saja akan berpotensi untuk menjadi penonton dalam era disrupsi teknologi ini.

Sebaliknya melalui sekolah sudah pasti akan terbentuk habit yang akademis, komunitas yang akademis yang muaranya adalah sebuah modal sosial awal yang jauh lebih baik dibandingkan dengan mereka yang benar-benar mengesampingkan manfaat sebuah pendidikan formal.

Dengan demikian, menghadapi era disrupsi teknologi sekarang ini yang terpenting adalah tetaplah bersekolah, gantungkan cita-cita setinggi-tingginya.

Jika nanti dalam perjalanannya kamu menjadi Youtuber dengan content yang mampu menghasilkan menghasilkan uang bagimu. 

Jika nantinya kamu menjadi founder sebuah start up baru di kemudian hari itu semata hanya bonus, mungkin kamu tersesat ke jalan yang benar. Masihkan anda beranggapan bahwa sekolah itu tidak penting?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun