Mohon tunggu...
Sutrisno
Sutrisno Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker Public Health

Entrepreneur media promkes dan tata graha akreditasi, sedang belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Quo Vadis Pengelolaan Obat-obatan di Puskesmas

7 Maret 2017   12:33 Diperbarui: 7 Maret 2017   22:00 3526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : http://majalah.stfi.ac.id

Selayang Pandang Pekerjaan Kefarmasian

Sebagai pengantar, terlebih dahulu harus kita sepakati bahwa pengelolaan obat merupakan bagian dari pekerjaan kefarmasian. Bukan sebaliknya pekerjaan kefarmasian merupakan bagian dari pengelolaan obat. Keduanya merupakan sebuah proses yang tidak terpisahkan pada sarana pelayanan kesehatan. Merunut pada amanat PP dalam hal ini PP No. 51/2009 dinyatakan bahwa Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat  tradisional.

 Sedangkan Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian/Asisten Apoteker (untuk selanjutnya disebut TTK). Pernyataan yang sama tentang tenaga kesehatan dapat kita lihat pada UU No. 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan.

                Dalam sistem ketenagaan yang ada pada instansi pemerintah, jabatan TTK masuk dalam rumpun jabatan fungsional tertentu (JFT). Jika kita lihat dari sudut pandang perbedaan tugas pokok dan fungsi dengan jabatan fungsional umum (JFU) tentu sangat berbeda, spesifikasi (kekhasan) pekerjaannya, metode kenaikan pangkatnya, sangat berbeda.

                Dalam pengelolaan obat di puskesmas (baca:pengelolaan obat), pada umumnya SDM yang tersedia adalah Apoteker (hampir semuanya didominasi oleh tenaga BLU), Tenaga Teknis Kefarmasian (hamper semuanya PNS) dan juga tenaga pengadministrasi obat. Kegiatan administrasi dan kegiatan pelayanan (dalam hal ini kembali penulis sebut pekerjaan kefarmasian) menjadi dua proses yang tidak terpisahkan bagi tenaga kefarmasian, melainkan dapat dipisahkan bagi tenaga pengadministrasi obat. Tugas tenaga pengadministrasi obat selama ini terbatas pada pelayanan-pelayanan dan aktifitas tertentu yang secara definitive penulis belum pernah menemukannya, misalnya : hal-hal apa yang secara definitif boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga pengadministrasi obat yang dalam hal ini masuk dalam rumpun JFU. Pokoknya ya membantu.

Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.Ini adalah amanat konstitusi, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah maupun turunannya dalam hal ini Peraturan Menteri Kesehatan No 30/2015 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.

Hal tersebut analog dengan kewajiban seorang tenaga kefarmasian untuk mencapai jumlah angka kredit tertentu, jumlah SKP tertentu dari organisasi profesi dalam hal ini PAFI (Persatuan Ahli Farmasi Indonesia). Adapun pemenuhan akan hal tersebut dilakukan dengan menjalankan apa yang menjadi tanggung jawab profesinya diantaranya :

  • Pelayanan kepada pasien, pelayanan resep,
  • Dispensing (peracikan obat), menjamin bahwa obat yang diserahkan kepada pasien sesuai dengan syarat mutu yang dipersyaratkan oleh Farmakope Indonesia maupun parameter farmasetika yang lain sehingga obat dapat menjadi “tool” yang mampu meningkatkan derajat hidup pasien
  • Visite rawat inap dan konsultasi obat (bagi apoteker),
  • Penjaminan mutu obat melalui sistem penyimpanan obat yang baik : pemantauan suhu, penjaminan cara penyimpanan sesuai dengan sifat-sifat yang dipersyaratkan dalam tiap-tiap obat, menjamin obat tidak rusak secara fisik maupun kimiawi sehingga aman ketika digunakan oleh pasien
  • Pendistribusian : melakukan distribusi ke sarana pelayanan kesehatan lain maupun sub unit pelayanan dan memastikan obat didistribusi sesuai dengan mekanisme good distribution practices
  • Memberikan edukasi kefarmasian kepada masyarakat melalui program pemberdayaan masyarakat CBIA, gema cermat dan lain-lain sejalan dengan program dari Kementerian Kesehatan maupun WHO.
  • Melakukan monitoring efek samping obat (MESO) dan melaporkannya kepada lembaga MESO Nasional
  • Melakukan monitoring peresepan : Penggunaan obat generic, penggunaan obat rasional, penggunaan injeksi, penggunaan antibiotic pada ISPA non Pneumoni dan diare non spesifik
  • Membuat rencana kebutuhan obat puskesmas yang dilaporkan menjadi kebutuhan obat nasional

Adapun tujuan dari pekerjaan kefarmasian adalah sebagai upaya perlindungan kepada pasien, memberikan kepastian mutu, kepastian hukum kepada pasien dan tenaga kesehatan atas terjadinya sebuah proses pelayanan kesehatan

Pekerjaan administrasi sebagai sebuah proses dalam pengelolaan obat merupakan hal yang penting, baik itu sebagai sebuah bentuk pertanggung jawaban atas pekerjaan atau pelayanan yang telah dilakukan maupun dalam rangka tertib administrasi dan pengamanan atas aset Negara. Sedangkan Badan Pemeriksa Keuangan merupakan pemverifikasi administrasi yang dalam hal ini mewakili negara memverifikasi kembali pekerjaan pekerjaan administrasi yang dilakukan oleh TTK yang ada di Puskesmas.

Misi pekerjaan administrasi inilah yang akhirnya dalam sudut pandang penulis telah menimbulkan “miss” dalam proses pekerjaan kefarmasian di puskesmas. TTK harus menyajikan data yang secara de facto integrated dengan sub unit pelayanan lain (pustu, yandu, unit-unit lain) dan semua pihak yang mengakses obat tanpa dukungan sistem yang mendukung proses (human maupun machine). Dan hebatnya lagi semuanya dilakukan secara manual. Inilah titik mula timbulnya kerancuan antara proses pekerjaan kefarmasian (secara kompetensi profesi) dengan pengadministrasi obat (secara administrative). Apa yang akan ditinggalkan, tentu pasien dan pekerjaan kefarmasian.

 Pekerjaan mengadministrasi obat berimplikasi pada stigma hasil penilaian BPK yang sangat adekuat dan prestisius bagi pemerintah daerah, sedangkan pekerjaan kefarmasian tidak memberikan implikasi langsung kepada siapapun kecuali kepada pasien. Inilah yang akhirnya pula menggeser paradigma TTK menjadi bukan TTK, bukan tenaga kefarmasian melainkan petugas pengelola obat.

Pengelolaan Perspektif

Untuk menghasilkan output (pasien dan administrasi) yang dapat dipertanggungjawabkan, puskesmas sarana pelayanan kefarmasian puskesmas seharusnya dilengkapi dengan tool pendukung proses pengelolaan obat secara komprehensif sehingga output yang dihasilkan menjadi baik dan dapat dipertanggung jawabkan. Dapat dipertanggungjawabkan secara klinis, secara profesi, maupun secara administratif. Ada beberapa hal menurut hemat penulis harus menjadi catatan khusus bagi pemangku kepentingan dalam pengelolaan obat di puskesmas :

Pertama, harus ada metode pengelolaan yang efektif mengacu pada penempatan benar profesi pada benar pekerjaan. Sebaiknya dilakukan review ulang atas beban kerja TTK dan juga dalam hal penataan tugas pokok dan fungsi antara tenaga JFT dan JFU dalam hal ini pada sektor pengelolaan obat harus kembali dipertegas secara definitif. Yang kita tahu banyak puskesmas yang mengangkat secara mandiri tenaga akuntan dari dana BLUD (bagi puskesmas yang telah berstatus BLUD), puskesmas juga mempunyai tenaga pengadministrasi obat. 

TTK bukanlah sumber profesi pengolah data administrasi obat, data obat yang adekuat dan valid tentu berasal dari kolaborasi antara profesi keuangan, pengadministrasi obat dan TTK itu sendiri (sekali lagi melalui proses kolaborasi tanggungjawab antara TTK, tenaga administrasi dan tenaga akuntan). Dari sudut pandang penulis, sangat memberatkan apabila TTK harus menanggung beban stok opname bulanan dan melaporkan obat secara perpetual berikut menyajikan data yang dilakukan seorang diri dan secara manual. Sekali lagi seorang diri dan secara manual. Jika pun itu dilakukan, penulis sangat yakin akan banyak sekali pekerjaan dan tugas pokok TTK yang harus diabaikan khususnya pekerjaan kefarmasian yang menjadi kompetensi dasar seorang TTK. 

Sehingga seharusnya ada penanggungjawab definitif tentang pekerjaan administrasi dengan batasan-batasan yang jelas antara tenaga TTK, tenaga administrasi maupun tenaga akuntansi puskesmas sehingga TTK dapat membagi peran sebagai tenaga fungsional TTK yang menjalankan pekerjaan kefarmasian dan juga TTK sebagai pembantu tenaga administrasi. Bagaimana TTK harus ditempatkan condong ke TTK dan pengadministrasi atau tenaga akuntansi bekerja sebagaimana mestinya.

Penguraian kembali tugas pokok dan tanggung jawab pengelolaan obat ini merupakan sebuah upaya optimalisasi pemberdayaan sumber daya yang ada di Puskesmas, memfokuskan pada pekerjaan farmasi klinis dan farmasi manajerial (administratif) yang harus dibebankan baik itu kepada TTK, kepada tenaga pengadministrasi obat maupun kepada tenaga administrasi keuangan atau akuntansi yang ada, mengingat output administrasi pengelolaan obat muaranya adalah pada aset dan pada nominal rupiah.

Kedua, melalui pemenuhan sarana dan metode yang memadai, baik itu hardware maupun software (machine dan method). Akurasi data yang disajikan, berikut dengan akurasi proses mengadministrasi yang dijalankan secara harian, tentu akan lebih mudah dan valid apabila dilakukan dengan dukungan berbasis aplikasi dan berbasis dukungan note book/PC tanpa harus mengandalkan perangkat milik pribadi. Adapun dengan metode, hal ini tentu dapat dipenuhi melalui pelatihan, diklat-diklat dan model pengembangan diri pegawai yang sejenisnya. Pengembangan dengan cara ini sejalan dengan adanya sistem tata kelola barang yang mana tata kelola barang diampu oleh pengelola/penyimpan barang. 

Hal ini juga sejalan dengan adanya pejabat pengadaan di puskesmas yang juga diampu oleh seseorang yang secara khusus dibekali dengan pelatihan bersertifikasi. Jika sistem semacam ini mampu dikembangkan dan diadopsi pada sistem tata kelola obat dan perbekalan kesehatan tentu akan mampu menghasilkan sebuah sistem yang berjalan efektif dan berkesinambungan, muaranya adalah pada penyajian data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan setiap saat, bukan hanya pada saat audit dari lembaga pemeriksa keuangan. Adapun secara balance (berimbang), TTK juga mendapatkan “haknya” untuk mendapatkan pelatihan yang linier dengan disiplin ilmu yang seharusnya dikuasai.

Ketiga,pembekalan sistem administrasi kepada penanggung jawab sub unit. Sub unit meliputi Puskesmas pembantu, posyandu, rawat inap, UGD, puskesmas keliling dan sub unit lain, wajib mengerti dan menjalankan sistem administrasi yang telah disepakati. Bahwa pelayanan kesehatan tidak berhenti pada pada penyerahan obat kepada pasien. Melainkan ada data administrasi yang harus dipertanggungjwabkan oleh petugas pemberi layanan atas barang/obat yang dipergunakan

. Selama ini penekanan mengenai tanggung jawab administrasi seolah hanya menjadi beban TTK. Dalam setiap proses pelaporan bulanan, opname bulanan sampai dengan tahunan TTK seringkali dalam posisi dihadapkan secara langsung dengan profesi lain (yang mengakses obat/mengampu pelayanan) khususnya dalam hal permintaan data. Seharusnya lembaga, dalam hal ini pemda melalui dinas kesehatan juga memiliki kekhasan perlakuan guna memodifikasi dan mengintervensi sistem administrasi yang ada di sub unit pelayanan.

Keempat, melihat pasien sebagai output yang utama (patient oriented). Ketika pasien kita letakkan sebagai sebuah tujuan utama yang menjadi ibu dari pelayanan kesehatan, maka kita pasti berpikir bahwa sediaan farmasi adalah salah satu tool untuk mendapatkan hasil yang pasti atas sebuah proses meningkatkan derajat hidup pasien sebagai pengguna layanan. Pemikiran ini sejalan dengan amanat konstitusi, itulah sebabnya UU tentang Tenaga Kesehatan mengharuskan tenaga kesehatan wajib berpendidikan minimal D3 pada tahun 2021 dimana TTK adalah tenaga kesehatan. Dengan melihat pasien sebagai tujuan, kita akan berpikir tentang pharmaceutical care, berpikir tentang patient safety, berpikir tentang patient oriented (bukan drug oriented).

Bukan retrospektif, penulis menyebutnya sebagai opini perspektif dalam pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan.  Sebuah opini yang mudah-mudahan dapat membawa kita pada “laku adil” terhadap TTK. Dalam opini perspektif ini penulis sengaja tidak menyebutkan “upah” pengelolaan obat sebesar lima puluh ribu rupiah perbulan. Yang mudah-mudahan mampu membolak-balikkan hati para pemangku kebijakan untuk mengkaji kembali pola pengelolaan obat di Puskesmas sebagai primary health care, sebagai ujung tombak terwujudnya Indonesia Sehat, dimana para TTK turut menjadi bagian didalamnya.

Menjawab pertanyaan hendak dikemanakan sistem pengelolaan obat di puskesmas tentu menjadi tantangan bagi pemerintah dan juga organisasi profesi dan seluruh stakeholder yang berkepentingan dengan pelayanan kesehatan. Dibutuhkan ghirah perubahan dan mengembalikan TTK kembali kepada fitrahnya sebagai tenaga kesehatan yang tugas primernya adalah pelayanan kepada pasien sesuai dengan ilmu kefarmasian.

 Tinggal bagaimana pemerintah mampu menciptakan sistem yang memadukan pekerjaan kefarmasian dan membagi beban pengadministrasian yang seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari pengelolaan obat. Jangan sampai ketika disuatu waktu, ketika kembali muncul vaksin permasalahan obat seperti halnya maraknya peredaran vaksin palsu, obat palsu, maupun kesalahan pemberian obat, tenaga kefarmasian kembali dipersalahkan sebagai profesi yang tidak mampu bekerja. Satu hal bahwa pharmacy without pharmacis is a shop!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun