Pengelolaan Perspektif
Untuk menghasilkan output (pasien dan administrasi) yang dapat dipertanggungjawabkan, puskesmas sarana pelayanan kefarmasian puskesmas seharusnya dilengkapi dengan tool pendukung proses pengelolaan obat secara komprehensif sehingga output yang dihasilkan menjadi baik dan dapat dipertanggung jawabkan. Dapat dipertanggungjawabkan secara klinis, secara profesi, maupun secara administratif. Ada beberapa hal menurut hemat penulis harus menjadi catatan khusus bagi pemangku kepentingan dalam pengelolaan obat di puskesmas :
Pertama, harus ada metode pengelolaan yang efektif mengacu pada penempatan benar profesi pada benar pekerjaan. Sebaiknya dilakukan review ulang atas beban kerja TTK dan juga dalam hal penataan tugas pokok dan fungsi antara tenaga JFT dan JFU dalam hal ini pada sektor pengelolaan obat harus kembali dipertegas secara definitif. Yang kita tahu banyak puskesmas yang mengangkat secara mandiri tenaga akuntan dari dana BLUD (bagi puskesmas yang telah berstatus BLUD), puskesmas juga mempunyai tenaga pengadministrasi obat.
TTK bukanlah sumber profesi pengolah data administrasi obat, data obat yang adekuat dan valid tentu berasal dari kolaborasi antara profesi keuangan, pengadministrasi obat dan TTK itu sendiri (sekali lagi melalui proses kolaborasi tanggungjawab antara TTK, tenaga administrasi dan tenaga akuntan). Dari sudut pandang penulis, sangat memberatkan apabila TTK harus menanggung beban stok opname bulanan dan melaporkan obat secara perpetual berikut menyajikan data yang dilakukan seorang diri dan secara manual. Sekali lagi seorang diri dan secara manual. Jika pun itu dilakukan, penulis sangat yakin akan banyak sekali pekerjaan dan tugas pokok TTK yang harus diabaikan khususnya pekerjaan kefarmasian yang menjadi kompetensi dasar seorang TTK.
Sehingga seharusnya ada penanggungjawab definitif tentang pekerjaan administrasi dengan batasan-batasan yang jelas antara tenaga TTK, tenaga administrasi maupun tenaga akuntansi puskesmas sehingga TTK dapat membagi peran sebagai tenaga fungsional TTK yang menjalankan pekerjaan kefarmasian dan juga TTK sebagai pembantu tenaga administrasi. Bagaimana TTK harus ditempatkan condong ke TTK dan pengadministrasi atau tenaga akuntansi bekerja sebagaimana mestinya.
Penguraian kembali tugas pokok dan tanggung jawab pengelolaan obat ini merupakan sebuah upaya optimalisasi pemberdayaan sumber daya yang ada di Puskesmas, memfokuskan pada pekerjaan farmasi klinis dan farmasi manajerial (administratif) yang harus dibebankan baik itu kepada TTK, kepada tenaga pengadministrasi obat maupun kepada tenaga administrasi keuangan atau akuntansi yang ada, mengingat output administrasi pengelolaan obat muaranya adalah pada aset dan pada nominal rupiah.
Kedua, melalui pemenuhan sarana dan metode yang memadai, baik itu hardware maupun software (machine dan method). Akurasi data yang disajikan, berikut dengan akurasi proses mengadministrasi yang dijalankan secara harian, tentu akan lebih mudah dan valid apabila dilakukan dengan dukungan berbasis aplikasi dan berbasis dukungan note book/PC tanpa harus mengandalkan perangkat milik pribadi. Adapun dengan metode, hal ini tentu dapat dipenuhi melalui pelatihan, diklat-diklat dan model pengembangan diri pegawai yang sejenisnya. Pengembangan dengan cara ini sejalan dengan adanya sistem tata kelola barang yang mana tata kelola barang diampu oleh pengelola/penyimpan barang.
Hal ini juga sejalan dengan adanya pejabat pengadaan di puskesmas yang juga diampu oleh seseorang yang secara khusus dibekali dengan pelatihan bersertifikasi. Jika sistem semacam ini mampu dikembangkan dan diadopsi pada sistem tata kelola obat dan perbekalan kesehatan tentu akan mampu menghasilkan sebuah sistem yang berjalan efektif dan berkesinambungan, muaranya adalah pada penyajian data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan setiap saat, bukan hanya pada saat audit dari lembaga pemeriksa keuangan. Adapun secara balance (berimbang), TTK juga mendapatkan “haknya” untuk mendapatkan pelatihan yang linier dengan disiplin ilmu yang seharusnya dikuasai.
Ketiga,pembekalan sistem administrasi kepada penanggung jawab sub unit. Sub unit meliputi Puskesmas pembantu, posyandu, rawat inap, UGD, puskesmas keliling dan sub unit lain, wajib mengerti dan menjalankan sistem administrasi yang telah disepakati. Bahwa pelayanan kesehatan tidak berhenti pada pada penyerahan obat kepada pasien. Melainkan ada data administrasi yang harus dipertanggungjwabkan oleh petugas pemberi layanan atas barang/obat yang dipergunakan
. Selama ini penekanan mengenai tanggung jawab administrasi seolah hanya menjadi beban TTK. Dalam setiap proses pelaporan bulanan, opname bulanan sampai dengan tahunan TTK seringkali dalam posisi dihadapkan secara langsung dengan profesi lain (yang mengakses obat/mengampu pelayanan) khususnya dalam hal permintaan data. Seharusnya lembaga, dalam hal ini pemda melalui dinas kesehatan juga memiliki kekhasan perlakuan guna memodifikasi dan mengintervensi sistem administrasi yang ada di sub unit pelayanan.
Keempat, melihat pasien sebagai output yang utama (patient oriented). Ketika pasien kita letakkan sebagai sebuah tujuan utama yang menjadi ibu dari pelayanan kesehatan, maka kita pasti berpikir bahwa sediaan farmasi adalah salah satu tool untuk mendapatkan hasil yang pasti atas sebuah proses meningkatkan derajat hidup pasien sebagai pengguna layanan. Pemikiran ini sejalan dengan amanat konstitusi, itulah sebabnya UU tentang Tenaga Kesehatan mengharuskan tenaga kesehatan wajib berpendidikan minimal D3 pada tahun 2021 dimana TTK adalah tenaga kesehatan. Dengan melihat pasien sebagai tujuan, kita akan berpikir tentang pharmaceutical care, berpikir tentang patient safety, berpikir tentang patient oriented (bukan drug oriented).