Mohon tunggu...
Sutrisno
Sutrisno Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker Komunitas

Entrepreneur tata graha akreditasi, sedang belajar di Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Perlukah Menghormati Orang yang Berpuasa?

12 Juni 2016   23:16 Diperbarui: 13 Juni 2016   04:44 2492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos


Sepuluh tahun yang lalu ketika geliat media sosial belumlah segencar sekarang, kata menghormati dalam konteks toleransi terhadap puasa sebagai ibadah dan kebersamaan hidup beragama mungkin masih merupakan tema yang datar. Sekarang era sudah berubah. Diakui maupun tidak, suka dan tidak suka media sosial telah mengubah pola hidup, media sosial mampu menaikkan standar moral maupun menurunkan standar moral masyarakat melalui pembentukan opini masyarakat yang bisa menjadi masif dan viral. Konteks menghormati puasa ini kalau kita kaitkan dengan misalnya razia pedagang makanan di Serang…. Waaah sudah seru sekali. Satu artikel utama media akan menjadi viral di media sosial, bisa dicopy paste puluhan blog dan web, dicopy forward ke BBM, WhatsApp dan beraneka ragam sarana komunikasi sosial yang sedang trend di era informasi ini

Kembali pada konteks menghormati orang berpuasa, Saya melihat dalam masyarakat, penghormatan terhadap orang berpuasa ini identik dengan makan minum secara vulgar di siang hari, meskipun bagi saya lebih holistik dari sekedar mempertontonkan makan minum atau membahas warung yang harus ditutup dengan tirai ataukah tidak ditutup tirai. Saya tergelitik dengan akun facebook yang menuliskan pada laman akunnya berbunyi “kepada orang yang tidak berpuasa, hormaaaaaat grakkk”. Ini memicu keheranan saya, mengapa penghormatan ini dalam konteks berpuasa menjadi sesuatu hal yang sepertinya menjadi sebuah masalah?

Saya dibesarkan dalam kultur Jawa, saya juga menjalankan ibadah puasa sebagai salah satu ibadah sesuai keyakinan yang saya yakini haq. Saya pribadi tidak pernah sekalipun menuntut penghormatan atau penghargaan dalam ibadah puasa yang saya jalani. Namun demikian saya menilai, menghormati dan memaknai penghormatan terhadap orang yang menjalankan ibadah puasa ini sebagai sesuatu hal yang sangat sederhana.

Pertama, menghormati orang berpuasa adalah (bentuk) empati dan persaudaraan. Saya analogikan ketika dalam satu jamuan makan, ada salah satu orang yang ngupil, apakah itu dilarang?? Ada yang kentut dengan amat sangat keras, apakah itu melanggar hukum?? Sama halnya dengan ketika kita menjenguk saudara yang sakit keras di rumah sakit lalu kita tertawa dengan terbahak-bahak. Sepertinya ya boleh-boleh saja.

Kedua, menghormati orang berpuasa itu cerminan strata. Bagi anda yang bekerja di kantoran, biasanya tidak asing dengan edaran dari pemda setempat mengenai himbauan untuk tidak makan minum dikantor secara terbuka, lalu diikuti oleh himbauan yang menyenangkan yakni pemangkasan jam kerja. Hal seperti ini saya rasakan adalah rutinitas himbauan yang sebenarnya tidak pernah ada masalah. Saya tidak pernah melihat ada karyawan, dari level pimpinan sampai staf terbawah yang makan atau minum di tempat umum, atau di kantor pada saat pelayanan. Tidak pernah saya temukan seorang camat yang kebetulan beragama Kristen yang merokok atau minum sambil jalan keluar ruangan.

 Saya sendiri pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi Katolik, dan mengalami setidaknya lima kali bulan Ramadhan selama kuliah, saya belum pernah melihat ada romo atau frater atau suster yang berjalan sembari menenteng air mineral lalu duduk dan minum. Belum pernah saya nemu, kalau mahasiswanya banyak. Saya pun menyadari kenyataan bahwa saya berada di tempat dimana keyakinan saya minoritas di sana.

Ketiga, tidak semua orang menjalankan ibadah puasa. Bahkan di kalangan umat Islam sendiri. Ini adalah sebuah fakta. Artinya kalau kita melihat penghormatan berpuasa dalam konteks makanan dan minuman, makan minum di tempat umum ini juga dilakukan banyak oleh orang Islam. Baik sebagai konsumen ataupun penyedia jasa (penjual makanan). Dalam konteks yang lebih luas, bagi umat muslim, mabuk (khamr), berzina atau mendekati zina pun adalah larangan dan dosa besar. Sedangkan faktanya, praktek zina yang dilakukan melalui prostitusi, adalah penyakit masyarakat yang tidak mengenal bulan, baik bulan Masehi maupun bulan Hijriyah. Dalam hal ini siapakah pelakunya? Saya yakin umat Islam sendiri. 

Di Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk mayoritas Islam saya kira wajar jika banyak kejadian yang di dominasi oleh umat dengan KTP Islam, baik itu mabuk, korupsi, seks bebas dan sejenisnya. Hal yang berbeda tentu saja dengan Vatikan, Rusia atau China.

Jika kita melihat konteks warung yang tetap buka, orang makan minum di siang hari dengan leluasanya, lantas apakah ini cerminan sebuah ketidakhormatan terhadap mereka yang sedang menjalankan ibadah puasa? Bisa iya bisa tidak, mereka yang bersaudara, menganggap seseorang sebagai saudara, rasa empati tentu akan membuat seseorang tidak akan mempertontonkan makanan di depan saudaranya yang sedang menahan lapar. Kalaupun makan tentu tidak tepat di depannya atau minimal dengan dengan kalimat pembuka “permisi atau maaf”. Pun halnya, seseorang yang sedang dalam jamuan makan, tentu tidak akan dengan vulgar menceritakan tentang tinja sebagai topik pembicaraan.

Seseorang yang melakukan hal tersebut dengan ekspresi biasa, mereka yang makan minum di tengah orang berpuasa saya yakin bukanlah golongan orang yang mempunyai strata sosial yang cukup baik di lingkungannya. Atau jika tidak, mereka tidak berada dalam situasi yang perlu bagi mereka untuk menahan diri. Bahkan saya tidak yakin seorang Ahok berani makan minum di depan muka Pak Jokowi yang sedang berpuasa.

Saya juga berharap tidak ada satupun pemerintah daerah yang menerbitkan perda tentang puasa. Bagi saya ini akan menjadi lelucon baru. Dulu ketika gencarnya penyusunan RUU Sisdiknas, negara dianggap "salah" ketika turut campur terhadap keyakinan beragama rakyatnya. Saya ingat betul ketika itu PDIP menjadi salah satu partai yang menolak kehadiran RUU Sisdiknas. Lalu, perubahan jaman bergerak dinamis, diikutilah dengan penyingkiran pelajaran-pelajaran berbasis etika dan moral. 

Naaaah,,, jika fenomena seperti sekarang ini terjadi salahkah jika saya menyebut bahwa negara tidak hadir di tengah kemerosotan akhlak rakyatnya? Apa gunanya menumpuk peraturan dengan sedemikian rumitnya. Saya pribadi melilih untuk menonton saja sampai habis satu generasi, sembari kita membuat generasi baru yang lebih berakhlak. Saya pikir ini dampaknya akan dapat kita rasakan sepuluh tahun yang akan datang.

Dalam konteks pendidikan, empati makan di muka umum ini layaknya dengan program Stop BABs ala Kulon Progo, bagaimana memindahkan orang dari pola membuang air besar sembarangan (di kali, di kebun) menuju pola hidup sehat menjadi Buang Air Besar di Jamban Sehat. Jika dikaitkan dengan pendidikan akhlak, memang harus diselesaikan dari hulu ke hilir, dari pendidikan yang baik, dengan proses pendidikan yang berbasis kemanusiaan manusia, melalui keterlibatan pemuka agama dan khususnya adalah keterlibatan orang tua agar tercipta generasi baru yang lebih berempati terhadap situasi sosial di masyarakat.

Penutup, lantas perlukah menghormati orang yang berpuasa? Biarlah Allah yang menghormati umatnya yang berpuasa. Kitalah yang harus menghormati “orang yang tidak menghormati orang berpuasa”. Wallahu a’lam.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun