Pesanggrahan Pintar menuju istana kekuasaan Luwu Utara meninggalkan jejak dosa politik pada masyarakat Seko Tengah. PLTA Seko Power Prima yang diwarnai dengan mendekamnya beberapa orang dalam penjara. Di tahun 2014. Isu penolakan PLTA itu menjadi tempat persinggahan terbaik pemenangan pasangan indah Tahar; kini keduanya menduduki kursi kekuasaan Luwu Utara bupati dan wakil bupati. Ditempat pesangrahan itu apa yang terjadi, mereka menyediakan jamuan politis soal penolakan PLTA seko, masyarakat komitmen menyerahkan suaranya dan sebagian masyarakat menjadi tahanan hingga saat ini . Apakah benar seperti demikian ?
Sebelum pesta pemilihan kepala daerah Luwu Utara. 14 November 2014 sekitar tiga puluh orang dari Seko Tengah berangkat jam 3 malam, mereka berencana menyampaikan aspirasinya ke DPRD Kabupaten Luwu Utara. Jalan yang rusak parah tak membuat masyarakat berhenti untuk menyatakan sikap menolak keberadaan PLTA Seko Power Prima yang akan menempati lokasi mereka sekitar 600 Hektar berdasarkan ijin lokasi perusahaan energy listrik ini. Sore harinya, masyarakat Seko Tengah tiba. Namun niatan mereka terhenti oleh Tahar Rum. Kekuatan dan semangat masyarakat dialirkan masuk kedalam ruang perjuangan politik pintar bahwa pintar ketika terpilih akan mendukung keinginan masyarakat. Maka tak heran kemudian di Seko Tengah suara Pintar mencapai angka 90 %.
90 % suara untuk pintar adalah bekal kemenangan nomor urut 2 ini. Tapi politikus selalu mencari jalan keluar dari keberpihakan terhadap masyarakat. Sudahlah semuanya sudah kita menangkan. ”janji saat itu merupakan kejahatan moral, tetapi dalam siasat politik ia adalah taktik memenangi pertarungan; mengorbankan adalah tanda mereka menjadi homo politikus”. Masyarakat kecil, lemah kemudian menjadi korban, musibah dari kepolosan politik; memercayai bahwa dalam politik masih ada ujaran soal moral keberpihakan pada janji. Hingga kini sudah empat belas warga Seko Tengah mendekam dalam jeruji. Disatu sisi, politisi telah mengikat suara mereka namun kemudian mereka berkumpul bersama dalam penjara, tuah politisi yang pandai bersilat lidah. Yang wajib memang bagi politikus adalah sesegera mungkin berlari meninggalkan masyarakat lalu memilih koorporasi besar yang dianggap memberi sumbangsi besar bagi pembangunan di Seko.
Apakah Indah bupati Luwu Utara tidak tau ?
Harapan wajah baru seorang perempuan yang menakhodai kepemimpinan tak bisa diyakini mewakili sikap kelembutan dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Beberapa kali pemerintah Kabupaten Luwu Utara menugaskan Tahar Rum menuju seko membahas PLTA seko, dalam upaya tersebut Tahar selalunya mendapat penolakan dari warga. Mengapa Tahar Rum ? Masihkah kita meyakin bahawa Bupati perempuan pertama di Luwu Utara dan Sulawesi Selatan ini tak tau, pembacalah yang menyimpulkannya.
Bagi seorang Indah, ia mungkin hendak menegaskan bahwa tanpa suara dari Seko Tengah ia akan tetap memenangi pertarungan Pilkada Luwu Utara sebelumnya, dan janji politis itu tak signifikan bagi kekuasaannya, tapi apakah pemimpin harus berlari dari sikap moral politik, lalu perubahan apa yang dimaksud oleh mereka.
Diamnya Indah mungkin menunjukkan bahwa ia tak terlibat dalam mesin kekuasaan yang sementara berpose mesra dengan perusahaan dan kekuatan keamanan mulai dari awal. Indah putri memosisikan dirinya pada penilaiaan yang serba mungkin. Pada pilihan itu indah menempatkan diri sebagai pelaku politik yang ulung, tak ada hujatan dari atas dan bawah. Diamnya Indah adalah persetujuan pada kehendak penguasa diatasnya. Bagi masyarakat indah mungkin tidak terlibat sebab Tahar Rum yang selalu menjadi tombak untuk mendampingi perusahaan PLTA ke Seko Tengah.
Ada tiga pelajar harus mendapat perlakukan yang tidak manusiawi, mendapat pukulan, kekerasan yang tak bisa disentuh oleh aparat keamanan ketika perlakuan itu mengamankan jalan mulus perusahaan. 29 Januari, seorang ibu yang mewakili masyarakat menyampaikan aspirasinya dihadapan wakil bupati menagih janji politik kekuasaan, suara itu harus berhenti karena rasa takut. 90 % suara masyarakat seko tengah untuk pintar tidak menemukan ruangnya, bahkan untuk sekedar dibicarakan ia tak boleh. Dan, dosa politik tak perlu dihindari karena dosa politik adalah kebaikan bagi kekuasaan pula. Pesangrahan mereka di Seko tak lagi elok untuk ditempati.
Apa yang anda bayangkan, ratusan laki laki dan perempuan menelusuri hutan, melintasi batas provinsi ke Sulbar. Saat ini ratusan ibu ibu mendiami tenda tenda berwarna biru menginap siang ataupun malam. Terpal warna biru untuk menjemur kopi, coklat menjadi tempat berteduh dari panas matahari. Apakah kekuasaan memang adalah mengetuk palu gada diatas kepala rakyat, memasang duri dibawah telapak kaki rakyat biasa. Mereka terancam dan tak berdaya. Tulisan ini bukan mencari satu bahasa seorang ibu “aku iba padamu nak”. Mereka akan membantah bahwa mereka tak pernah berjanji, tetapi kebenaran tidak pernah menyembunyikan dirinya.
Apa kesalahan masyarakat ? mereka seringkali salah dalam menegoisasikan kepentingan mereka dalam rangkaiaan tindakan politik praktis. Mereka meyakini bahwa masih ada politisi yang baik, yang berpihak pada kepentingan mereka, politisi yang pintar sebut mereka. Padahal memang, politik adalah kemampuan melenturkan diri diawal, meraih simpati, membuka ruang hampa untuk menyedot aspirasi lalu setelahnya memuntahkan semua itu. Masyarakat pun kemudian menjadi tumbal politik sementara yang menduduki kekuasaan mengatakan ini adalah bagian dari riak pembangunan.
Bagaimana semua itu ? Tumbal kekuasaan itu bukan hanya rekaman kejadian masa zaman orba, tetapi telah sampai pula mencari bentuknya dalam era reformasi. Seko kecil tapi Indah, nyanyian politik masa pilkada Luwu Utara. Nyanyian ini menjadi panduan sekaligus sorakan wajib politikus. Setiap bahasa politikus memang patut selalu dicurigai sebagai alat menguasai jika tidak masyarakat akan tetap menjadi tumbal politik. Dosa egoisme structural lalu mencabik cabik sikap mengedapankan kemanusian, merobek robek keadilan yang dijanjikan.
Luka pembangunan akan tetap diabadikan menganga melebar, sebagai perayaan bagi mereka yang terus hendak meninggalkan masyarakat. Mereka ini akan dicatat sebagai pemimpin yang tumbuh dalam pembangunan karena dosa dosa politik dan egoisme pembangunan.
(*Apolia***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H