Mohon tunggu...
ashiong munthe
ashiong munthe Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Saya senang belajar dari siapa pun, dimana pun dan dengan apa pun....:) Hidup berjuang untuk mampu bermakna.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ujian Nasional (UN): Dogma Usang Pendidika?

30 Januari 2025   02:23 Diperbarui: 30 Januari 2025   02:23 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan seharusnya menjadi wahana bagi transformasi intelektual dan karakter, bukan sekadar arena kompetisi berbasis angka yang menafikan realitas kompleks perkembangan individu. Ujian Nasional (UN), sejak awal kemunculannya, telah menjadi simbol sentralisasi pendidikan yang rigid, sebuah dogma yang dipaksakan dalam sistem yang seharusnya adaptif dan progresif. Dengan perkembangan teknologi yang kian melesat, terutama di ranah kecerdasan buatan (AI) dan pembelajaran mendalam (Deep Learning), absurditas UN sebagai alat ukur pendidikan semakin terang benderang. Apakah sistem pendidikan Indonesia akan terus terjebak dalam mitos standar tunggal, ataukah kita siap mendobrak paradigma usang menuju asesmen yang lebih cerdas, holistik, dan relevan?


UN: Reduksi Pendidikan Menjadi Angka Kaku

Pada hakikatnya, pendidikan adalah proses multidimensional yang tidak bisa direduksi menjadi sekadar angka hasil ujian standar. UN telah memaksa sistem pendidikan untuk mengabaikan keberagaman potensi manusia, mengkerangkakan kecerdasan ke dalam format pilihan ganda yang mekanistis dan tidak kontekstual. Fenomena teaching to the test menjadi bukti konkret bagaimana guru dan siswa dipaksa untuk mengorbankan kedalaman pemahaman demi sekadar mengejar skor. Hasilnya? Generasi yang cakap menghafal, tetapi gagap berpikir kritis dan berinovasi.

Ironisnya, UN justru memperparah ketimpangan pendidikan di Indonesia. Dengan sistem yang seragam, siswa di daerah terpencil dipaksa untuk bersaing dengan siswa di kota-kota besar yang memiliki akses lebih baik terhadap sumber daya pendidikan. UN bukan hanya gagal sebagai alat ukur yang adil, tetapi juga memperdalam jurang ketidaksetaraan. Evaluasi pendidikan yang berbasis realitas lokal dan kebutuhan individual siswa menjadi solusi yang jauh lebih logis dibandingkan dengan pemaksaan standar nasional yang tidak kontekstual.


AI dan Deep Learning: Era Baru Evaluasi Pendidikan

Di tengah revolusi teknologi, model asesmen berbasis AI dan Deep Learning menawarkan pendekatan yang lebih dinamis, akurat, dan manusiawi. Teknologi ini memungkinkan personalisasi pembelajaran, di mana siswa dinilai berdasarkan kemajuan individual mereka, bukan berdasarkan ujian sekali seumur hidup yang sarat tekanan psikologis. Evaluasi menjadi proses berkelanjutan yang tidak hanya mengukur hafalan, tetapi juga menguji kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan problem solving.

AI juga membuka peluang bagi asesmen formatif yang lebih adaptif. Dengan data real-time, perkembangan siswa dapat dipantau secara komprehensif tanpa harus menunggu hasil ujian tahunan. Sistem ini jauh lebih efektif dibandingkan dengan model evaluasi tradisional yang hanya menawarkan snapshot tunggal dari proses belajar yang seharusnya bersifat dinamis dan berkesinambungan.

UN: Reduksi Pendidikan Menjadi Angka Kaku

Pada hakikatnya, pendidikan adalah proses multidimensional yang tidak bisa direduksi menjadi sekadar angka hasil ujian standar. UN telah membelenggu sistem pendidikan dengan formula yang mengabaikan keberagaman potensi manusia, mengerdilkan kecerdasan ke dalam format pilihan ganda yang mekanistis dan tidak kontekstual. Fenomena teaching to the test menjadi bukti konkret bagaimana guru dan siswa terpaksa mengorbankan kedalaman pemahaman demi mengejar skor. Hasilnya? Generasi yang cakap menghafal tetapi gagap berpikir kritis dan berinovasi.

Lebih dari itu, UN memperparah ketimpangan pendidikan di Indonesia. Dengan sistem yang seragam, siswa di daerah terpencil dipaksa untuk bersaing dengan siswa di kota-kota besar yang memiliki akses lebih baik terhadap sumber daya pendidikan. Alih-alih menjadi alat ukur yang adil, UN justru memperdalam jurang ketidaksetaraan. Evaluasi berbasis realitas lokal dan kebutuhan individual siswa jauh lebih logis dibandingkan dengan pemaksaan standar nasional yang tidak kontekstual.


AI dan Deep Learning: Era Baru Evaluasi Pendidikan

Di tengah revolusi teknologi, model asesmen berbasis AI dan Deep Learning menawarkan pendekatan yang lebih dinamis, akurat, dan manusiawi. Teknologi ini memungkinkan personalisasi pembelajaran, di mana siswa dinilai berdasarkan kemajuan individual mereka, bukan berdasarkan ujian sekali seumur hidup yang sarat tekanan psikologis. Evaluasi menjadi proses berkelanjutan yang tidak hanya mengukur hafalan, tetapi juga menguji kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan pemecahan masalah.

AI juga membuka peluang bagi asesmen formatif yang lebih adaptif. Dengan data real-time, perkembangan siswa dapat dipantau secara komprehensif tanpa harus menunggu hasil ujian tahunan. Sistem ini jauh lebih efektif dibandingkan dengan model evaluasi tradisional yang hanya menawarkan snapshot tunggal dari proses belajar yang seharusnya bersifat dinamis dan berkesinambungan.

Paradoks UN: Pendidikan yang Membunuh Rasa Ingin Tahu

Pendidikan seharusnya menumbuhkan rasa ingin tahu, bukan menumpulkannya dengan standar rigid yang membebani siswa. UN justru mendorong lahirnya generasi yang lebih peduli pada hasil akhir ketimbang proses belajar itu sendiri. Tekanan untuk memperoleh skor tinggi melahirkan kultur pendidikan yang tidak sehat, di mana kecemasan dan ketakutan akan kegagalan lebih dominan dibandingkan kegembiraan dalam mengeksplorasi dan memahami sesuatu yang baru.

Lebih dari itu, UN telah mempersempit peran guru sebagai fasilitator pembelajaran menjadi sekadar instruktur teknis yang bertugas memastikan siswanya lulus ujian. Ruang kreativitas dalam pengajaran dikorbankan demi mengejar target kelulusan, mengubah kelas menjadi pabrik produksi jawaban standar yang nihil substansi.


Dampak Negatif Ujian Nasional

Selain kritik pedagogis, UN juga memiliki dampak negatif dari sisi filosofis dan psikologis:

  1. Pengukuran Skor yang Tidak Mencerminkan Kecerdasan Nyata -- Pendidikan seharusnya menitikberatkan pada eksplorasi dan refleksi, bukan sekadar angka hasil ujian.

  2. Tekanan Psikologis yang Tinggi -- Sebagai satu-satunya tolok ukur keberhasilan akademik, UN menciptakan beban mental besar bagi siswa.

  3. Ketidakadilan Struktural -- UN mengasumsikan semua siswa memiliki akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas, padahal realitanya jauh dari itu.


Kritik Pedagogis terhadap UN

Dalam perspektif pedagogi modern, evaluasi pendidikan seharusnya mencerminkan proses pembelajaran yang holistik, bukan sekadar hasil akhir yang seragam.

  • Gagal Mengakomodasi Pembelajaran Berbasis Proyek (PjBL)Format pilihan ganda tidak mampu menangkap keterampilan problem-solving dan kolaborasi yang berkembang dalam project-based learning.

  • Kurangnya Diferensiasi dalam EvaluasiSoal UN yang seragam mengabaikan latar belakang dan potensi individu siswa. AI dapat menawarkan asesmen yang lebih fleksibel dan personal.

  • Reduksi Peran Guru sebagai FasilitatorGuru lebih berfokus pada persiapan UN ketimbang mendukung pembelajaran yang lebih luas dan mendalam.


Menuju Evaluasi Pendidikan yang Berkeadilan

Menghapus UN bukan sekadar keputusan administratif, tetapi reformasi fundamental dalam sistem pendidikan. Solusi yang ditawarkan mencakup:

  1. Evaluasi Berbasis Kompetensi -- Mengembangkan asesmen yang menilai keterampilan nyata seperti pemecahan masalah, berpikir kritis, dan kreativitas.

  2. Asesmen Berbasis Sekolah -- Memberikan wewenang lebih besar kepada sekolah dan guru untuk menilai perkembangan siswa.

  3. Integrasi Teknologi dalam Evaluasi -- Memanfaatkan AI untuk menghasilkan asesmen yang lebih objektif, akurat, dan berkelanjutan.

  4. Peningkatan Kualitas Guru -- Guru harus berperan sebagai mentor, bukan sekadar instruktur yang menargetkan kelulusan UN.

  5. Pemerintah sebagai Fasilitator -- Pemerintah seharusnya fokus pada pemerataan kualitas pendidikan dan penyediaan infrastruktur digital.

  6. Akreditasi Sekolah dan Sertifikasi Guru -- Standarisasi kualitas pendidikan dapat dijaga melalui akreditasi sekolah dan sertifikasi guru yang berkala.


Mengubur Dogma Lama, Membangun Paradigma Baru

UN bukan lagi instrumen evaluasi yang relevan dalam ekosistem pendidikan modern. Ia bertahan bukan karena efektivitasnya, melainkan karena inertia kebijakan. Dalam era AI dan Deep Learning, pendidikan harus mengadopsi model asesmen yang lebih fleksibel, berbasis data, dan menghargai keberagaman potensi manusia. Jika Indonesia ingin membangun generasi yang tidak hanya cerdas menghafal, tetapi juga mampu berpikir kritis dan berinovasi, maka sudah saatnya kita mengubur sistem evaluasi yang kaku ini dan menggantinya dengan paradigma baru yang lebih manusiawi dan visioner.

Revolusi pendidikan tidak akan terjadi dengan mempertahankan dogma lama. Kita membutuhkan keberanian untuk mendobrak pola pikir lama dan merangkul perubahan yang membawa pendidikan ke arah yang lebih inklusif, adaptif, dan bermakna. UN harus menjadi sejarah, bukan masa depan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun