Indonesia sendiri merupakan negara darurat korupsi. Berdasarkan Corruption Perseptions Index (CPI) yang dirilis Transparency International pada 2014, Indonesia menempati peringkat ke-107. Jauh di bawah negara-negara tetangga, seperti Filipina, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Artinya, dalam hal korupsi, negara kita termasuk 'juara'nya. Tentu saja ini bukan prestasi yang membanggakan. Apalagi sejarah kemudian mencatat bahwa korupsi telah menyebabkan banyak negara di dunia terpaksa gulung tikar. Jika tidak segera berbenah, tidak mustahil bangsa kita akan mengalami hal serupa di masa yang akan datang.
Upaya pemberantasan korupsi sebenarnya dapat dilakukan dengan cara       yang sederhana. Gunnar Myrdal, ahli ekonomi sekaligus peraih Nobel asal Swedia mengemukakan bahwa salah satu cara memberantas praktik korupsi ialah adanya keteladanan dan komitmen yang kuat. Orang Jawa bilang sabda pandito ratu. Artinya, perkataan seorang raja mestinya juga perkataan seorang pandita (penjaga moral). Keteladanan akan menjadi imun yang berguna menghadang laju pertumbuhan korupsi di dalam tubuh masyarakat kita.
Melihat kondisi saat ini, Indonesia sepertinya membutuhkan banyak teladan seperti Bung Hatta. Negarawan yang jujur, sederhana, dan cinta tanah air. Pemimpin yang tidak suka menanam tebu di bibir. Satria Pandita Reki Ngambara Kalayung-layung, Makutha Tan Ratu, seorang pemimpin yang berhasrat kuat melayani bangsa, negara, dan rakyatnya.
Itulah alasan sebenarnya saya memilih Bung Hatta sebagai pahlawan favorit. Bung Hatta merupakan sosok teladan besar. Darinya kita belajar bagaimana sikap menahan diri, mandiri, bersahaja dan tentu juga uncorruptable. Nah, kalau Bung Hatta saja yang pernah jadi wakil presiden tidak malu menjalani hidup sederhana tanpa korupsi, mengapa kita harus takut mengikuti langkahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H