TERUS TERANG, kalau ditanya tentang pahlawan favorit, dari sekian banyak nama, saya tidak ragu untuk memilih Muhammad HMuhammad Hatta atau yang lebih akrab dipanggil Bung Hatta. Proklamator sekaligus wakil presiden RI pertama. Akan tetapi, bukan itu alasan Bung Hatta saya pilih, melainkan karena kisahnya tentang sepasang sepatu. Lha, kok bisa?
Seperti dikisahkan sekretaris pribadinya, Iding Wangsa Widjaja, Bung Hatta pernah menginginkan sepatu Bally. Pada masa itu, Bally merupakan merk sepatu bermutu tinggi dan tentu saja harganya tidak murah. Begitu kuat keinginan untuk memiliki sepatu tersebut, sampai-sampai Bung Hatta menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat si penjual dan berharap suatu saat ia dapat membelinya.
Untuk mewujudkan keinginannya itu, Bung Hatta berusaha keras menabung dengan menyisihkan sebagian gaji yang ia terima. Sayang, uang yang ditabung tampaknya tidak pernah cukup karena kerap terambil untuk keperluan lain. Alhasil, sampai akhir hayatnya, keinginan Bung Hatta untuk membeli sepatu idamannya tak pernah kesampaian. Bagian paling mengharukan dari cerita ini, ternyata hingga meninggal, guntingan iklan sepatu Bally itu masih tersimpan di dalam dompet Sang Proklamator.
Sebagai seorang wakil presiden, sebenarnya kalau mau, dengan mudah Bung Hatta dapat memiliki sepatu tersebut. Ia tinggal minta pada duta besar atau kenalan-kenalannya yang tentu dengan senang hati akan memberinya secara cuma-cuma. Di sinilah keistimewaan Bung Hatta, ia tidak mau memperoleh sesuatu untuk kepentingan sendiri dengan memanfaatkan kekuasaan yang ada padanya.
Bagi saya, sikap yang ditunjukkan Bung Hatta mencerminkan bahwa ia tidak hanya sederhana dan jujur, tetapi juga tidak terkorupsikan (uncorruptable). Kejujuran hati yang dimiliki, membuat Bung Hatta tidak mau menodai diri dengan melakukan tindak korupsi yang dapat merusak integritasnya. Sebagai ekonom handal, Bung Hatta tentu paham betul bahwa korupsi merupakan penyakit menular yang amat berbahaya dan mematikan.
Korupsi atau rasuah berasal dari bahasa Latin, corruptio (dari kata kerja corrumpere), yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, atau memutarbalik. Seperti makna kata dasarnya, korupsi merupakan suatu perbuatan yang merusak atau menyebabkan kerusakan. Seumpama ikan busuk yang ditempatkan di antara ikan-ikan segar, maka secara otomatis ikan-ikan segar tersebut perlahan-lahan akan berubah menjadi busuk pula.
Korupsi muncul akibat Need of Achievement atau motivasi berprestasi dari manusia yang terlalu berlebihan. Sederhananya, secara naluri kita biasanya ingin melebihi orang lain. Lebih kaya, lebih tampan atau cantik, lebih populer, lebih keren, lebih hebat, lebih pintar, dan lebih-lebih lainnya. Keinginan-keinginan inilah yang mendorong seseorang melakukan korupsi. Sebaliknya, pribadi sportif yang mau membatasi dan menerima kekurangan diri merupakan wujud dari Need of Achievement yang ideal.
Perilaku korupsi sendiri sebenarnya bermula dari tindakan-tindakan yang dianggap remeh atau sepele. Biasanya perilaku ini dilakukan oleh remaja, misalnya menyontek (cheating) saat ulangan, menjiplak tugas sekolah, membohongi guru atau orang tua, dan sebagainya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa perilaku tidak jujur tersebut apabila dilakukan secara terus-menerus berhubungan erat dengan sikap yang mengarah pada perilaku korupsi. Dengan demikian, perilaku korupsi sesungguhnya terbentuk sejak kecil dan berpeluang berlanjut sampai dewasa kelak.
Korupsi amat berbahaya karena daya rusaknya yang sangat kuat. Cara kerja korupsi mirip rayap. Binatang ini akan memakan bagian dalam bangunan dan membiarkan bagian luarnya tampak utuh sehingga kita baru tersadar apabila bangunan tersebut telah benar-benar roboh, rata dengan tanah.
Karena cara kerjanya yang diam-diam, samar, dan di bawah permukaan, seseorang kadang tidak menyadari kalau perbuatannya termasuk atau mengarah korupsi. Misalnya, karena kurang percaya diri, meskipun telah belajar keras, seorang siswa menyontek saat ulangan. Contoh lain, karena sering dikirim bingkisan, seorang guru sengaja menaikkan nilai siswanya. Perbuatan-perbuatan semacam itu acapkali dianggap wajar sehingga dibiarkan terus berlangsung. Pembiaran akan menimbulkan kebiasaan. Kebiasaan lambat laun membentuk watak dan kepribadian seseorang.
"Pikiranmu akan menjadi ucapanmu. Ucapanmu akan menjadi perilakumu. Perilakumu akan menjadi kebiasaanmu. Kebiasaanmu akan menjadi karaktermu. Karaktermu akan menjadi takdirmu," begitulah petuah sang bijak dari Hindustan, Mahatma Gandhi.
Indonesia sendiri merupakan negara darurat korupsi. Berdasarkan Corruption Perseptions Index (CPI) yang dirilis Transparency International pada 2014, Indonesia menempati peringkat ke-107. Jauh di bawah negara-negara tetangga, seperti Filipina, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Artinya, dalam hal korupsi, negara kita termasuk 'juara'nya. Tentu saja ini bukan prestasi yang membanggakan. Apalagi sejarah kemudian mencatat bahwa korupsi telah menyebabkan banyak negara di dunia terpaksa gulung tikar. Jika tidak segera berbenah, tidak mustahil bangsa kita akan mengalami hal serupa di masa yang akan datang.
Upaya pemberantasan korupsi sebenarnya dapat dilakukan dengan cara       yang sederhana. Gunnar Myrdal, ahli ekonomi sekaligus peraih Nobel asal Swedia mengemukakan bahwa salah satu cara memberantas praktik korupsi ialah adanya keteladanan dan komitmen yang kuat. Orang Jawa bilang sabda pandito ratu. Artinya, perkataan seorang raja mestinya juga perkataan seorang pandita (penjaga moral). Keteladanan akan menjadi imun yang berguna menghadang laju pertumbuhan korupsi di dalam tubuh masyarakat kita.
Melihat kondisi saat ini, Indonesia sepertinya membutuhkan banyak teladan seperti Bung Hatta. Negarawan yang jujur, sederhana, dan cinta tanah air. Pemimpin yang tidak suka menanam tebu di bibir. Satria Pandita Reki Ngambara Kalayung-layung, Makutha Tan Ratu, seorang pemimpin yang berhasrat kuat melayani bangsa, negara, dan rakyatnya.
Itulah alasan sebenarnya saya memilih Bung Hatta sebagai pahlawan favorit. Bung Hatta merupakan sosok teladan besar. Darinya kita belajar bagaimana sikap menahan diri, mandiri, bersahaja dan tentu juga uncorruptable. Nah, kalau Bung Hatta saja yang pernah jadi wakil presiden tidak malu menjalani hidup sederhana tanpa korupsi, mengapa kita harus takut mengikuti langkahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H