Mohon tunggu...
Maria Margaretha
Maria Margaretha Mohon Tunggu... Guru - Guru SD. Blogger.

Teaching 1...2...3. Knowledge is a power. Long Life Learner

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fiksi Penggemar RTC] Lu Lurus Bener Sih, Lupus?

10 September 2015   18:21 Diperbarui: 10 September 2015   18:23 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nomor 90 : Maria Margaretha

 

Lu Lurus Bener Sih, Lupus?

 

Daaaar!

Dayat kaget sendiri ketika permen karet yang ditiup mulutnya meletus. Namun dia segera tersenyum sendiri, setelah celingak-celinguk ke kanan-kiri. Untung nggak ada Lupus, pikir cowok yang sok mendekati Gitaris Queen itu. Rambut riap-riapan khas, rada berjambul.

            “Da…yat!” tepuk sebuah tangan di pundaknya.

            Kali ini Dayat kaget. Lebih-lebih yang di sisi kanannya itu benar-benar Lupus yang diepigoni.

            “Eh, Puuus….!”

            Lupus tertawa ngakak demi Dayat seperti mayat wajahnya. Pias.

            “Lu ngagetin aje….!”

            Lupus tak peduli. Ia malah menyeret cowok yang selalu mengkeret kalau ada di dekatnya. Mungkin merasa ingin seperti Lupus, namun oleh teman-temen se gangnya diolok-olok. Nggak ubahnya peniru gagal. Walau Dayat mencoba mendekati seorang gitaris dan bisa nyanyi dengan suara pas-pasan.

            “Gua punya proyek, dan mesti nggandeng lu, Yat!”

            “Ah, yang bener?”

            “Masak gue booong. Seperti kagak tau Lupus aje…”

            Kalau soal ini, ia percaya. Percuma ia ngefans sama Lupus kalau orangnya nggak asyik. Meski kadang ia nggak bisa nututi gokilnya. Seantero SMA tak ada yang tak kenal gaya Lupus. Permen karet, ngocol dan kreatif.

            “Pokoknya, kerjain. Kamu bisa, kan?” ungkap Lupus setelah panjang lebar bicara dengan Dayat.

            “Siii … aaaap!”

            Lupus menjentikkan jarinya.

            “Cuma permen karet, jangan sampe ketelan. Buang knapa?”

            Dayat garuk-garuk kepala. Ah, iya ternyata ulah meniru meniup permen karetnya diawasi oleh Lupus.

***

PERSOALANNYA sederhana. Ia diminta mendekati anak pindahan baru nan cuantiiik. Namanya Regina Sastrawati. Yang menurut Lupus kelasnya sembilan plus. Hampir nggak ada cacatnya.

            “Langkah pertama, bisikin ke die, kalau Lupus itu cowok yang paling pas dijadiin gebetan….”

            Ini yang nggak sederhana. Pasalnya, ia sendiri langsung tergila-gila sama anak baru itu. Tapi kenapa juga Lupus idolanya menyuruh untuk kepentingannya, ngegebet Gina?

            Dayat membuang latihan meniup permen karetnya. Bahkan ia mulai berpikir keras. Kalau proyek yang dibebankan itu adalah untuk dicuekin saja.

            “Dayy ….Daay …!”

            Dayat menoleh. Dug! Gina yang manggil. Oh, suaranya begitu indah masuk ke telinga kiri dan ditampung di telinga kanan dengan baik. Disimpan rapat-rapat. Nggak usah lewat, ke luar.

            “Ya, say….eh, Gin.”

            Regini yang nggak punya model jutek, melempar senyum kelas satunya, ini yang bikin Dayat lupa dengan proyek Lupus. Ah, aku nggak usah nurutin idola. Apaan, kalau ini sama dengan nyakitin diri. Ini namanya guadong…eh, guablok!

            “Kagak?”

            “Kagak, nape, Dayyy….”

            Ih, lagian si Gina kenapa juga manggil nyebutinnya Day. Mesra benar. Bagi siapa pun dengan panggilan yang nggak biasa. Plus oleh cewek baru yang diuber-uber seantero SMA sekolahnya. Wabil khusus kelas sepuluh A.

            “Kalau Gina, jangan deket-deket sama Lupus….”

            “Kok? Katanya kan Lupus paling keren, paling baek di kelas kita…..” sergah Gina.

            Iiiih!

            Dayat menjejakkan kakinya ke bumi. Bum! Kesel, ih. Kenapa juga Gina sudah kena virus keinginan Lupus. Kalau Lupus terkenal, dan seterusnya, dan sebagainya itu.

            “Iyeeee, sih….”

            “Nah, getooo, dong.”

            Dayat pengen bener nempeleng kepala sendiri. Huh! Gina-Gina. Kamu nggak tahu apa, kalau si Day ini….

            “Kenalin, dong sama die….”

            Day mengkeret.

            “Aku kan gengsi. Masak duluan. Walau die terkenal….”

            Kaleng yang dilewatinya ditendangnya dengan kecepatan tendangan Rooney. Brang!

            “Daaaay ….”

            Dayat menoleh. Wajahnya tetap angker kayak bir.

            “Kamu mau nggak sih ngenalin aku sama Lupus secara khusus?”

            Dayat menggeleng lemah.

            “Knapa?”

            “Nggak knapa-napa….”

            “Iiiih!”
            “Apa?”

            “Mesti pakai alasan yang mantep, dong.”

            Dayat diam.

            “Daaayyy…!”

            Dayat tetap diam.

            “Kamu ….nggak keberatan kalau aku kenal dia, Dayyy….”

            Terpaksa Dayat menjajal keberanian. Menatap wajah Gina secara langsung. Yang ditatap menyunggingkan senyum iklan pasta gigi kelas dunia. Ah, bukankah senyum itu mirip senyumnya Gina Lolo…artis kelas dunia.

            “Aku sebenarnya lebih senang sama kamu, Dayyyy….”

            Dada Dayat seperti diguyur es campur Mang Dayat yang mangkal di sudut alun-laun tak jauh dari sekolah.

            “Bener, Gin?”
            “Kau meragukan aku?” Gina menempelkan telapak tangannya ke dada sendiri.

            Iih! Jelas benar kalau Gina serius. Tulus. Nggak seperti Lupus. Yang sukanya nggak serius dalam banyak hal. Ia memang bisa nyenengin cewek. Tapi ya setelah si cewek merasa in love gitu, malah lebih baik temanan saja. Ini seperti kisah Luna, Siska dan Atikah. Yang ditelantarkan begitu saja.

            “Pokoknya, kapan-kapan, kamu mesti kenalin aku sama Lupus. Secara khusus,” tepuk Gina sambil berlalu. “Yuk, Daayyyy!”

            Huh! Dayat mendengus seperti kereta api kuno kehabisan bahan bakar.

***

LUPUS nunggu Dayat yang berjalan ogah-ogahan. Cowok kerempeng itu memain-mainkan permen karetnya seperti biasa, dengan punggung menyenderkan ke pohon mahoni di jalan nan terik mentari siang itu.

            “Pasti dia akan nanyain perkembangan proyeknya.”

            Dayat terus memperlambat langkahnya. Ia tak ingin melewati Lupus. Tapi bagaimana lagi? Sudah kejebak. Lupus sudah telanjur tahu.

            “Mana sekarang sepi lagi….,” desis Dayart yang celingak-celinguk. Tak ada teman satu sekolah yang jalan pulang. Sepotong pun. Ih!

            “Da….yat!” seru Lupus betigu Dayat tepat di depan hidung mancungnya.

            Dayat diam.

            “Kuharap berita baek soal Regina….”

            “Baek buat lu, kagak buat gue….” runtuk Dayat dalam hati.

            Dayat menatap ke arah Lupus.

            “Iya, kan?”

            “Kan….!” sahutnya ogah-pogahan.

            Lupus mengernyitkan kening, sehingga jambulnya ikut berdiri.

            “Maksudnya?”

            “Ya, Gina bilangnya sebenarnya lebih seneng ke gua!”

            Lupus menjentikkan jari, dan tertawa ngakak.

            Dayat menunggu perkembangan. Ia merasa tak kuat berhadapan dengan cowok yang mesti diakui banyak bisanya. Bersaing dari segi apa pun kagak menang lawan Lupus.

            “Trus?”

            “Trus apa?”

            “Ya, kamu seneng kan kalau Gina ngomong gitu…..”

            Dayat diam.

            “Jujur aja.”

            Dayat menimbang. Ini jenis jebakankah? Ia berpikir keras.

            Tak disangka, Lupus menghampirinya, dan kemudian merangkul. Dengan tidak basa-basi. Terkesan hangat. Bersahabat.

            “Gina sudah menimbang, ia ingin lebih deket sama kamu, Daaayyy ….”

            Dayat menarik kepala ke belakang. Kok nadanya persis yang diucapkan Gina. Selain sebuatan Day yang sama sekali belum pernah dilontarkan oleh siapa pun sejak kelas sepuluh lalu. Hingga kelas sebelas sekarang.

            “Aku kali ini mesti berterus terang. Kalau proyekku itu, hanyalah fiktif….”

            “Maksudnya?”

            “Ya, sebuah jebakan saja. Agar kamu ndeketin Gina secara jantan.”

            Dayat masih bingung.

            “Gina memang mengidolaiku….”

Dayat hati-hati. Masih menunggu.

“Sudah, nggak usah nyiksa kamu. Kasian. Gina itu sepupuku ….”

            Aaaahhhh!

            “Lupus, bener?”

            “Iya.”

            “Jadi?”

            “Ya, aku nggak mungkin berkelok-kelok terlalu lama. Masak jeruk makan jeruk. Bagaimanapun, Gina saudaraku…..”

            “Ah, Pus…..”

            Lupus ngakak.

            “Kali ini kamu lurus, ya?”

            Lupus ngucel-ngucel jambul Dayat yang sebenarnya lebih bagus daripada jambul Lupus.

            Dari jauh, Regina tersenyum melihat dua sosok mirip itu saling tertawa ngakak.

           

           

 

***

 

 

 

^Karya Ini Orisinil dan Belum Pernah Dipublikasikan^

Catatan: 

  • Cerita ini terinspirasi dari cerpen panjang “Kejar Daku, Kau Kujitak”nya Hilman Hariwijaya. Pengarang Lupus di HAI.

 

  • Sumber Ilustrasi di SINI           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun