Mohon tunggu...
Maria Margaretha
Maria Margaretha Mohon Tunggu... Guru - Guru SD. Blogger.

Teaching 1...2...3. Knowledge is a power. Long Life Learner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Guru Asing di Indonesia

24 Agustus 2015   05:32 Diperbarui: 11 Oktober 2015   11:57 949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sabtu malam, 21 Agustus 2015 karena sendiri di kamar, dan beberapa kali mati lampu membuat saya akhirnya bergabung dengan mbak pengurus mess di ruang televisi lantai 1. Mess saya terdiri dari 4 lantai. Lantai 1 dihuni oleh beberapa tenaga asing dan kepala sekolah di unit wanita. Di unit pria ada 4 kamar yang digunakan oleh guru lokal dan asing juga. Lt 2 wanita sedang direnovasi, jadi saya dan teman-teman guru wanita dipindah sementara ke unit laki-laki yang biasanya kosong, atau digunakan oleh tamu dari luar kota. Lantai 3 hanya diisi seorang guru pria. Lantai 4 seperti apartemen, digunakan seorang guru asing juga dan unit lainnya digunakan guru lokal berkeluarga (suami istri mengajar). Di lantai 2 juga ada televisi, tetapi, di unit wanita. Sementara unit itu kotor sekali, karena proses perbaikan. Lt 1 ada 2 TV di unit wanita dan pria ada masing-masing. 

Kaget sekali saya saat melihat video di TV One. Topik bahasannya adalah kewajiban mampu berbahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing dihapus? Ada talkshow dengan latar belakang jalan dan saya melihat video itu. Itu sekolah saya. Lho itu kan teman saya? Lho itu head of operasional saya. Wah,... Narasumber talkshow itu adalah perwakilan KADIN Korea, dan 2 orang lagi saya lupa.  

Kekagetan dan surprise itu membuat saya berkisah dengan beberapa teman guru di mess, saat kemarin pagi ke pasar. Mereka mengatakan ya memang sekolah kami pernah di syut beberapa waktu lalu sebelum saya datang. 

Beberapa guru yang tersyut ada yang saya kenal dan ada yang tidak. Yang masih ada seorang guru asing western, memang mengajar bahasa Inggris. 

Bicara mengenai guru asing, saya sudah bekerja dengan guru asing sejak 2009. Di Batam, ada sekitar 12-20 guru asing. Dengan reputasi sekolah berwawasan internasional, keberadaan guru-guru asing ini adalah realita. Mereka tidak menguasai bahasa Indonesia, walaupun tampangnya 11-12 dengan orang Indonesia. Ya, mereka orang Filipina. Ada yang western, namun yah jumlah terbanyak adalah tenaga asing Filipina. 

Bahasa Inggris adalah keharusan. Hal-hal yang bisa saya ingat tentang mereka, guru-guru asing ini adalah kerja kerasnya. Beberapa dari mereka sudah menikah, dan berkeluarga. Mereka meninggalkan anak dan suami di negara mereka mengais rejeki di negeri kita. Mereka adalah pekerja yang bekerja dengan tanggung jawab tinggi. Mereka membayar rindu pada keluarga dengan telepon dan skype, sekarang ada FB, bertukar kabar di media sosial. 

Guru asing Filipina saya sinyalir memperoleh gaji yang hanya 11-12 dengan guru lokal berkualifikasi. Perbedaannya adalah etos kerja. Saya jarang melihat guru guru asing ini mondar mandir mengobrol dengan teman, pada jam kerja. Di pekerjaan mereka benar-benar all out. Walaupun, jujur, kadang kala dari sudut personal, mungkin ada hal-hal yang kurang sesuai. Dulu, saya pernah punya rekan guru yang orientasi sex-nya sejenis. Tetapi dia bukan jenis guru yang "menakali" siswa seperti berita yang kerap saya baca, lihat dan dengar. Mereka benar-benar profesional.

Saya melihat profesionalisme seutuhnya. Pada jam kerja mereka tidak mondar-mandir, ngopi atau nge teh. Mereka fokus dengan tugasnya. RPP, penilaian, dan evaluasi semua dibuat tepat waktu. Walaupun untuk itu mereka harus lembur, 3-4 jam. Di Batam dengan jam kerja sampai jam 4 kadang ada hari-hari mereka pulang jam 8-9 malam tanpa mengeluh. Mereka tahu benar apa itu menjadi pendidik. Di Jambi, saya menemukan hal yang sama. Mereka jarang membawa pulang pekerjaan, karena di rumah mereka mengerjakan pekerjaan harian lumrahnya kita. Memasak, mencuci dan istirahat. 

Mereka juga irit, walaupun tidak pelit. Saya sempat kaget waktu belanja ke pasar, guru tersebut menolak menawar harga dengan alasan, pedagang itu kelihatannya petani, kalau dagangannya tidak terjual kasihan. Bukan main. 

Mereka jarang jajan, kebanyakan memasak. Waktu di Batam, kami patungan gas dan air minum. Jadi ada sarana masak di rumah bersama kami. Di mess juga demikian. 

Bagaimana dengan guru Indonesia? Kadang saya sedih. Saya juga guru Indonesia. Kemampuan mengatur kelas kadang benar-benar ketinggalan. Mengabaikan dateline pengumpulan RPP, evaluasi dan penilaian. Namun tak segan menjatuhkan teman sekerjanya, untuk memenuhi tujuan pribadinya. Memang tidak semua. Namun, kebanyakan. Dan kebanyakan guru Indonesia, pusing sedikit tidak masuk kerja. Anak sakit izin kerja. Ada urusan keluarga ini dan itu. Bahkan ada yang menjadikan kehamilannya sebagai alasan untuk menolak membantu kawan yang sakit. Banyaklah alasannya. Pada jam kerja sempat mondar mandir nge-teh, ngopi, dan saat ditagih pekerjaan tak sedikit yang beralasan. Printer error lah dan sebagainya. Menggunakan fasilitas kerja untuk pribadi? Jangan tanya, itu biasa.

Menggunakan isu SARA? Juga biasa. Iya, dia disayang karena dekat. Sesuku. (Saya pernah jadi korbannya. "Ms. Maria itu diterima karena sesuku". huks. nyesek banget dah. Iya. Tapi belakangan orang yang ngomongin saya bilang, "yah, ms. Maria sih soal kerjaan memang oke. Sayangnya, secara personal kurang bisa akrab sama teman." Lha, kan saya di kantor buat kerja?)

Dia seagama. Makanya disayang. Menyebalkan begitulah. Lalu?  

Nah, ini sebenarnya tidak menyenangkan, karena sebenarnya ada cemooh dari guru asing. Saya sempat mendengar sebuah pernyataan yang bahkan menggeneralisir semua guru lokal serupa. Semua guru Indonesia demikian. Apakah benar? Tidak juga. Saya pernah mengajar di desa, rekan kerja saya punya etos yang lebih baik. 

Nah, lalu kalau guru Indonesia ketinggalan bagaimana? 

Sekarang guru asing sudah banyak. Gaji murah pun ngga apa. Mereka bisa hidup irit karena akomodasi dan transportasi sudah terjamin, selama kerja. Mereka bisa kirim uang untuk keluarga, walau emosional, pasti mereka juga merasakan yang kita rasakan. Pisah sama anak gitu? Sedih dan perih pastinya. 

Tenaga Indonesia dengan spesifikasi tenaga asing ini bukan ngga ada, tapi mereka lebih senang kerja di luar Indonesia. Lebih dihargai kan? Sementara tenaga lokal di Indonesia bisanya hanya mengeluh, nah, siap bersaing guru Indonesia?

Salam Senin Pagi, 

Maria

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun