Mohon tunggu...
Maria Margaretha
Maria Margaretha Mohon Tunggu... Guru - Guru SD. Blogger.

Teaching 1...2...3. Knowledge is a power. Long Life Learner

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sabtu Malam Pasca KAA 60 di Bandung

16 Mei 2015   05:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:58 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bandung Lautan manusia di Jalan Asia-Afrika, Braga, Cikapundung, Alun-alun dan sekitarnya pada Sabtu malam Pasca KAA 60. Dan wajah-wajah mereka sumringah. Kalaupun tak tergelak, tawa lepas, kadang senyum-senyum. Ada sebagian yang berpelukan sebelum dan setelah selfie.

Iji, dua, tilu …!” klik, klik!

Pemandangan berfoto, baik memotret diri sendiri, dipotret secara  bersama adalah bagian penting warga mengekspresikan kebahagiaannya. Dan itu bukan cuma oleh warga Bandung kota saja, yang umumnya memberi aba-aba atau tanda dalam berfoto dengan gadgetnya: iji, dua, tilu atau satu-dua-tiga.  Gayanya bisa macam-macam. Sambil meloncat dan dibarengi ucapan yup-yihaa-huuu-cis, atau mengacungkan salam dua jari perdamaian, dan sejenisnya. Secara bebas. Ya, di seputaran Jalan Asia-Afrika, dengan gedung-gedung jadulnya atau depan gambar tokoh-tokoh Asia-Afrika di April 1955.

Photoin dong.... doc.MM

1430520036563032832
1430520036563032832
Warga yang datang ke carnival malam di Jalan Asia-Afrika selfie dengan berbagai gaya. doc.MM

14305201141659268204
14305201141659268204
Photo-photo di gerbang alun doc.MM

14305201821182128879
14305201821182128879
di halaman alun-alun doc.MM

“Saya milih di depan Nelson Mandela,” jawab Rike saat disodori pertanyaan. “Dia tokoh hebat dan pernah ke sini, sepuluh tahun lalu.”

“Tapi dia nggak ikut KAA 1955, Teh!” sergah Anita, temannya.

“Apa iya?” gadis berambut sebahu itu ragu.

Lalu mereka tertawa.

1430520414339362391
1430520414339362391
Foto-foto di alun-alun doc.MM

1430520488807076761
1430520488807076761
Selfie di bawah poster doc.MM

14305205941310463131
14305205941310463131
Anak-anak berfoto di KAA doc.MM

Dan itu tidak penting. Karena malam Minggu (25/4) itu bisa berbaur di antara entah berapa ribu orang yang memadati perempatan Jalan Tembong ke ujung Jalan Asia-Afrika, berujung di Alun-alun, depan BRI. Dari jalan itulah sejarah April 1955 para tokoh Asia-Afrika berjalan. Tak cuma jalan, tentu. Karena seperti yang termaktub dalam Dasa Sila Bandung itu mereka “melawan” dan “mencoba” bisa berbicara lebih luas di antara negara-negara lain yang merasa lebih maju. Gedung-gedung itu masih ada dan terawatt itu menjadi saksi sejarah, dan bisa menjadi bagian Indonesia Travel tahun 2015 ini.

Hotel Savoy Homann salah satu obyek mereka berselfie. Setidaknya, mereka tahu itulah tempat di mana para delegasi KAA bermalam, dan bangunan itu masih kukuh berdiri, berarti lebih dari enam puluh tahun. Berkesan jadul, tapi tetap anggun. Apalagi di sekitarnya ditata dan dihias untuk enam puluh tahun peringatannya dalam acara begitu semarak, meriah dan terukur. Gambar-gambar tokoh Asia-Afrika berderet dengan wajah sumringah pula.

14305206602091684651
14305206602091684651
Berpose, semua orang, termasuk dari Indonesia Timur ikutannnnn doc.MM

1430520723938481419
1430520723938481419
Hotel savoy di malam hari doc.MM

Pilihan Bandung, untuk Konperensi Asia Afrika itu, disebut karena hotel mewah di Jakarta saat itu kurang memadai, semisal Des Indes, Harmoni Jakarta. Dan di Bandung ada Savoy Homann. Jadilah, selain Hotel Indonesia Jakarta kemudian dibangun oleh Bung Karno. Jika enam puluh tahun kemudian di kawasan hotel itu terjadi kemeriahan, karena ada carnival dan warga ingin merasakan di sekitar Jalan Asia-Afrika yang sebenarnya pendek saja. Juga bukan Harian Pikiran Rakyat yang berkantor tepat di depannya ikut mewartakan secara masif. Saat KAA ke-60 berlangsung, memang ada lomba selfie oleh Koran Jawa Barat ini. Dan sebagian warga memanfaatkan: baik anak-anak, remaja, tua dan laki-laki perempuan ikut dengan berbagai gaya. Termasuk dengan berfoto di bingkai yang telah disediakan. Menang atau tidak, itu soal nanti. Ini bentuk sambutan dan keriaan warga yang datang pada malam itu.

“Yaaa… yihuuui…!”

1430521457308596076
1430521457308596076
Berpose di bingkai Pikiran Rakyat doc.MM

14305215501059852548
14305215501059852548
keriaan karnival malam KAA doc.MM

Bergeser sedikit ke arah depan, karena jalan satu arah, tiba di Museum Asia-Afrika. Di sini berdera berkibar-kibar, angin malam itu cukup kuat. Cukup kuat pula orang-orang berselfie alias menjadi-jadi. Mengekspresikan keriaannya dengan patung (atau replika) para tokoh KAA. Atau naik ke tempat yang lebih tinggi. Juga di depan deretan sepeda jadul. “Ayo, poto, Pak!” ajak beberapa orang wanita kepada lelaki berpakaian jadul, bertopi di samping usia laki-laki itu memang sudah berambut memutih.

“Hayuuu …atuuuh!” sambut lelaki berbadan kecil itu semangat.

14305211321433606917
14305211321433606917
Warga ke acara Sabtu malam di sekitar Museum KAA dan Gedung Merdeka dengan menggunakan alat transportasi: vespa, sepeda, motor, mobil. doc.MM

14305211921276707988
14305211921276707988
Naik vespa melihat keriaan KAA doc.MM

Di Gedung Merdeka, lebih-lebih. Mereka tak mempedulikan latar belakang teks Gedung Merdeka yang cukup tinggi itu kena atau tidak dalam mereka mengambil gambar diri mereka. Sebab, mereka umumnya mengambil gambar sekitar wajah dan tubuh mereka saja. Ah, yang penting berfotoria, titik.

Ketika sebuah panggung tepat di depan Gedung BRI, persis di sudut Alun-alun, sudah ditutup kegembiraan warga belum usai. Sementara kursi-kursi yang dibungkus kain putih untuk tempat tamu kehormatan, sudah diduduki warga. Padahal, hari sudah memasuki tengah malam, pukul 23 lebih. Tak terkecuali anak-anak balita. Berlarian dengan keceriaan bak di pagi hari. Mereka tertawa-tawa, main ayunan di panggung (lebih tepat halte) berteks Alun-alun Bandung yang menyala merah-putih. “Siniiii …! Ayo duduk, senyumnya, adeeee…!” seorang ibu memberi aba-aba kepada anak-anaknya.

1430521316607592963
1430521316607592963
jalan-jalan malam doc.MM

Dua orang melepas alas kaki, persis di ujung garis karpet sintetis di belakang halte Alun-alun Bandung. Lalu menentengnya, untuk memasuki lembaran hijau depan Masjid Agung. Di tempat yang sama, seorang anak memasukkan sampah plastik ke bak sampah yang ada – atas petunjuk orangtuanya. Pemandangan menakjubkan. Mereka sadar ketika berada di Ruang Publik, walau dalam kemeriahan dan kerumunan orang. Ditambah kemudian, laki-laki berkantung plastik besar (yang menggelembung) mengorek-orek apa saja yang bisa dipulung, terutama botol plastik. Sangat membantu kebersihan. Walau tak dipungkiri, kerusakan fasilitas, termasuk taman yang berantakan – saking berjubelnya manusia.

Sebuah vespa tua yang sudah dimodivikasi dan dicat merah – mana ada vespa warna ini zaman itu? – mogok tiba-tiba di tikungan Alun-alun. Di belakangnya, sebuah vespa lain berhenti, dan membantu si pengendara vespa merah di depannya. Setelah dikutik-kutik seperti, lalu dislag: greng, greng! Jalan lagi.

Hari terus merangkak naik. Malam hampir memasuki puncaknya. Kunang-kunang biru, sesungguhnya semacam kitiran dari plastik yang menyala terbang dan dimainkan sedemikian rupa, satu-dua masih bertaburan di tengah alun-alun. Tawa mereka masih sesekali terdengar. Seperti sentilan senar gitar yang dimainkan oleh sekelompok anak muda yang duduk-duduk di rumput hijau sintesis menyanyikan lagu Slank. Terdengar begitu amat tidak slengekan. Malah pas menggambarkan kemeriahan warga pada suasana Sabtu malam setelah KAA keenampuluh diperingati: syahdu. Ini petikannya:

“Terlalu manis, untuk dilupakan ….”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun