Pilihan Bandung, untuk Konperensi Asia Afrika itu, disebut karena hotel mewah di Jakarta saat itu kurang memadai, semisal Des Indes, Harmoni Jakarta. Dan di Bandung ada Savoy Homann. Jadilah, selain Hotel Indonesia Jakarta kemudian dibangun oleh Bung Karno. Jika enam puluh tahun kemudian di kawasan hotel itu terjadi kemeriahan, karena ada carnival dan warga ingin merasakan di sekitar Jalan Asia-Afrika yang sebenarnya pendek saja. Juga bukan Harian Pikiran Rakyat yang berkantor tepat di depannya ikut mewartakan secara masif. Saat KAA ke-60 berlangsung, memang ada lomba selfie oleh Koran Jawa Barat ini. Dan sebagian warga memanfaatkan: baik anak-anak, remaja, tua dan laki-laki perempuan ikut dengan berbagai gaya. Termasuk dengan berfoto di bingkai yang telah disediakan. Menang atau tidak, itu soal nanti. Ini bentuk sambutan dan keriaan warga yang datang pada malam itu.
“Yaaa… yihuuui…!”
Bergeser sedikit ke arah depan, karena jalan satu arah, tiba di Museum Asia-Afrika. Di sini berdera berkibar-kibar, angin malam itu cukup kuat. Cukup kuat pula orang-orang berselfie alias menjadi-jadi. Mengekspresikan keriaannya dengan patung (atau replika) para tokoh KAA. Atau naik ke tempat yang lebih tinggi. Juga di depan deretan sepeda jadul. “Ayo, poto, Pak!” ajak beberapa orang wanita kepada lelaki berpakaian jadul, bertopi di samping usia laki-laki itu memang sudah berambut memutih.
“Hayuuu …atuuuh!” sambut lelaki berbadan kecil itu semangat.
Di Gedung Merdeka, lebih-lebih. Mereka tak mempedulikan latar belakang teks Gedung Merdeka yang cukup tinggi itu kena atau tidak dalam mereka mengambil gambar diri mereka. Sebab, mereka umumnya mengambil gambar sekitar wajah dan tubuh mereka saja. Ah, yang penting berfotoria, titik.
Ketika sebuah panggung tepat di depan Gedung BRI, persis di sudut Alun-alun, sudah ditutup kegembiraan warga belum usai. Sementara kursi-kursi yang dibungkus kain putih untuk tempat tamu kehormatan, sudah diduduki warga. Padahal, hari sudah memasuki tengah malam, pukul 23 lebih. Tak terkecuali anak-anak balita. Berlarian dengan keceriaan bak di pagi hari. Mereka tertawa-tawa, main ayunan di panggung (lebih tepat halte) berteks Alun-alun Bandung yang menyala merah-putih. “Siniiii …! Ayo duduk, senyumnya, adeeee…!” seorang ibu memberi aba-aba kepada anak-anaknya.
Dua orang melepas alas kaki, persis di ujung garis karpet sintetis di belakang halte Alun-alun Bandung. Lalu menentengnya, untuk memasuki lembaran hijau depan Masjid Agung. Di tempat yang sama, seorang anak memasukkan sampah plastik ke bak sampah yang ada – atas petunjuk orangtuanya. Pemandangan menakjubkan. Mereka sadar ketika berada di Ruang Publik, walau dalam kemeriahan dan kerumunan orang. Ditambah kemudian, laki-laki berkantung plastik besar (yang menggelembung) mengorek-orek apa saja yang bisa dipulung, terutama botol plastik. Sangat membantu kebersihan. Walau tak dipungkiri, kerusakan fasilitas, termasuk taman yang berantakan – saking berjubelnya manusia.
Sebuah vespa tua yang sudah dimodivikasi dan dicat merah – mana ada vespa warna ini zaman itu? – mogok tiba-tiba di tikungan Alun-alun. Di belakangnya, sebuah vespa lain berhenti, dan membantu si pengendara vespa merah di depannya. Setelah dikutik-kutik seperti, lalu dislag: greng, greng! Jalan lagi.
Hari terus merangkak naik. Malam hampir memasuki puncaknya. Kunang-kunang biru, sesungguhnya semacam kitiran dari plastik yang menyala terbang dan dimainkan sedemikian rupa, satu-dua masih bertaburan di tengah alun-alun. Tawa mereka masih sesekali terdengar. Seperti sentilan senar gitar yang dimainkan oleh sekelompok anak muda yang duduk-duduk di rumput hijau sintesis menyanyikan lagu Slank. Terdengar begitu amat tidak slengekan. Malah pas menggambarkan kemeriahan warga pada suasana Sabtu malam setelah KAA keenampuluh diperingati: syahdu. Ini petikannya:
“Terlalu manis, untuk dilupakan ….”