Mohon tunggu...
Adi Putra
Adi Putra Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Hidup terus bergulir, kau bisa memilih diam atau mengikutinya, mengacuhkan atau mempelajarinya. Merelakan, atau meratapinya.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pria tanpa Nama [Bag 2]

20 September 2016   15:59 Diperbarui: 20 September 2016   16:07 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Risti mempercepat langkahnya. Bunyi langkah kaki yang menggema di belakangnya di lorong itu seakan menjadi bahan bakar kedua kakinya. Semakin cepat ritme langkah kaki itu menggema, maka ketukan sepatu hak tinggi ke atas jalan yang terbuat dari semen itu akan mengikutinya. Seperti dua orang yang sedang berdansa.

Dia tak habis pikir mengapa dia bisa berada disini, di tempat yang tidak ia kenali, dan jelas tidak ia sukai. Terutama dalam kondisi seperti ini. Lorong ini seperti tiada habisnya, dan suara menggema itu mulai menggantung di benaknya. Dia lalu berusaha mengalihkan pikirannya dengan mencoba memikirkan mengenai mengapa ia bisa berada disini lebih lanjut.

Hal yang terakhir yang dia ingat dengan jelas adalah dia sedang berjalan pulang, setelah turun dari stasiun metro, untuk kembali ke apartemennya yang baru saja ia tempati dua bulan belakangan. Perpindahan ini tak begitu disukainya, karena dia sudah betah tinggal di Palembang, kota kelahirannya. Tapi ketika memikirkannya lebih lanjut, bisa jadi dia akan betah tinggal dimanapun itu sebelumnya.

Karena dia menyukai hal yang monoton dan dia tidak begitu menyukai perubahan. Tapi tugas memanggilnya kesini. Dan bagaimana orang-orang yang mengenalnya sering mengatakan bahwa dirinya adalah penggila kerja. Bagaimana dia akan lembur sampai larut malam apabila ada pekerjaan, apapun itu, bahkan pekerjaan yang bisa dilakukannya esok hari.

Gema langkah kaki yang semakin keras terdengar lalu membuyarkan pikirannya. Tapi sedikit banyak telah mengingatkan dirinya akan apa yang ia kerjakan selama ini. Dan lalu ia mengumpulkan keberaniannya untuk berhenti dan menoleh ke belakang dengan cepat. Kenapa ia mesti takut dengan langkah kaki itu? Ia telah dilatih beladiri semenjak hari pertama ia masuk ke kepolisian.

Risti telah mempersiapkan diri seandainya si pemilik gema suara langkah itu akan melangkah semakin cepat untuk menyergapnya. Namun ketika ia melakukan itu, suara langkah itu terhenti, dan tak terlihat adanya suatu apapun di hadapannya. Penerangan yang tidak begitu baik di lorong itu tidak banyak membantunya untuk melihat lebih jauh.

Ia tetap menjaga kewaspadaannya dan menunggu beberapa saat lamanya. Dan setelah detik-detik keheningan yang terasa begitu tebal merambat pelan di telinganya itu berlangsung seakan beberapa menit lamanya, ia membalikkan badannya untuk kemudian melanjutkan langkah kakinya untuk pulang. Ia lalu teringat, ketidaksukaannya akan keramaianlah yang membawa langkah kakinya kesini.

Sebelumnya ia menemukan orang banyak yang berkerumun sampai menutupi jalanan yang biasanya ia lewati untuk kembali pulang ke apartemennya di bilangan barat Jakarta itu. Sepertinya ada orang yang tergeletak di tengah jalan, karena ia dapat melihat kaki yang terkulai dari sela-sela kumpulan orang tersebut. Anehnya naluri polisinya tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Alih-alih dia malah memilih rute lain untuk menghindari kerumunan orang-orang itu. Rute yang tidak ia kenali sama sekali. "Pilihan yang bodoh, Risti," ujarnya kepada diri sendiri.

Lalu entah mengapa kepanikan merambati benaknya lagi. Bagaimana jika kaki yang terkulai di atas jalanan itu memang sudah tidak lagi ditinggali nyawa seseorang? Dan bagaimana jika, memang benar orang itu dibunuh atau terbunuh, pelakunya adalah si pemilik gema langkah kaki yang tadi sempat membuatnya takut?

Ia menjadi takut kembali ketika memikirkannya. Dan seakan mengamini apa yang ia pikirkan itu, suara langkah kaki itu terdengar kembali, lebih keras dari sebelumnya. Tak lagi menoleh ke belakang, Risti langsung berlari sekuat tenaga yang ia bisa. Namun suara itu terdengar semakin keras dan semakin keras, sampai ia seakan merasakan hembusan napas di tengkuknya.

Pekiknya tertahan seiring terantuknya sepatu hak tingginya karena jalanan yang tidak rata itu. Dengan refleks ia berusaha menahan sebisa mungkin untuk menahan laju terjerembabnya, menyebabkan posisinya berada dalam keadaan merangkak. Segera ia membalikkan badan supaya ia berhadapan dengan si pembunuh itu.

Tubuh besar milik seseorang yang memakai jas panjang menutupi cahaya penerangan yang memang tak begitu baik itu, menyebabkan kegelapan menutupi seluruh tubuh Rista yang gemetar. Ia berusaha bangkit namun kepanikannya hanya bisa membuatnya beringsut-ingsut mundur menjauhi orang itu sebisanya.

Langkah orang itu berjalan pelan mengikuti Risti yang berusaha menjauh darinya. Suara napas Risti yang memburu dan suara langkah kaki orang itu mengisi lorong itu untuk beberapa waktu, sampai orang itu berkata, "seharusnya kau tidak melewati tempati ini, Nona."

Risti ingin membalas ucapan orang itu, namun perkataannya tercekat di tenggorokannya. "Seharusnya kau tidak disini, kau dengar itu, Nona?!" orang itu menghardiknya kemudian mempercepat langkahnya ke arah Risti.

Tangan orang itu terlihat mengambil sesuatu dari balik jas panjangnya. Risti langsung berharap bahwa itu adalah pistol. Pikiran yang pada keadaan sehari-hari akan dia cemooh sebagai sesuatu yang konyol. Memilih mati secara cepat daripada secara lebih pelan dan menyakitkan seandainya yang diambil orang itu dari balik jas panjangnya adalah senjata tajam. Karena manusia harus lebih memilih hidup.

Andai ia bisa memikirkannya lebih lama untuk saat ini. Karena orang itu sudah menodongkan apapun itu ke arahnya. Sebuah letusan terdengar, dan gemanya memenuhi keseluruhan lorong itu.

Risti berusaha mengantisipasi sesuatu, namun sepertinya tembakan itu tidak diarahkan kepadanya karena ia tidak merasakan sakit apapun. Orang itu masih berdiri di hadapannya, terdiam untuk beberapa saat. Dan seakan tak hendak menuruti keinginan Risti untuk mati dengan cepat, ia membuang pistol itu ke sampingnya dan kemudian mengambil sesuatu lagi dari balik jas panjangnya.

"Aku berubah pikiran," kata orang itu dengan suaranya yang serak, lalu menerjang Risti yang tak kuasa lagi menjauhkan diri dari orang itu.

Ia hanya mencoba berusaha bangkit sekuat tenaga yang ia bisa. Sekarang atau tidak sama sekali.

Risti terbangun dari ranjangnya, napasnya memburu dan tubuhnya bersimbah peluh, membasahi sebagian besar kaus tidur tanpa lengannya itu. 'Sialan!' umpatnya dalam hati setelah menyadari bahwa yang ia alami baru saja adalah sebuah mimpi. Dia telah memimpikan hal ini berkali-kali sehingga seharusnya ia dapat mengetahui bahwa ia sedang bermimpi ketika mengalaminya.

Namun entah mengapa setiap mimpi itu terasa semakin nyata seiring waktu ia mengalaminya, yang menyebabkan dirinya kembali terkecoh kali ini. Ia lalu merasakan kedinginan karena kausnya yang sebagian basah itu terkena hawa pendingin udara yang telah mengisi kamar tidurnya itu. Ia harus menggantinya dengan yang kering. Menyibak selimutnya, Risti beranjak turun dari ranjang dan menuju ke lemari pakaiannya.

Televisi layar datar yang tergantung di atas dinding di hadapan ranjangnya itu ia nyalakan dalam pada itu. Tak lama kemudian terlihat siaran berita dari channel yang tak pernah ia ganti sama sekali itu. Menyiarkan tentang dugaan pembunuhan yang dilakukan terhadap seseorang yang ditemukan tak bernyawa lagi, di sebuah lorong di wilayah pusat kota.

Sambil melepaskan pakaiannya untuk kemudian menukarkannya dengan yang kering, Risti menyimak wawancara yang dilakukan kepada orang yang pertama kali menemukan jasad orang itu, yang tampaknya lebih memilih untuk melaporkan kejadian itu kepada stasiun televisi daripada melaporkannya ke kepolisian.

Risti menyimaknya dengan wajah yang datar. Bukannya ia tidak bersimpati kepada korban, dan bukan pula ia sudah terbiasa menghadapi kasus kematian seperti ini. Hanya saja, dengan menarik dirinya untuk terlibat secara emosional akan menyebabkan ia dapat berpikir lebih jernih untuk dapat memecahkan kasus yang ada. Ia telah memilih untuk menjadi polisi, dan sejauh yang ia tahu, alasannya untuk itu belum berubah.

Seperti kapas yang dipintal menjadi benang dan benang ditenun menjadi kain, maka takdir akan memainkan peranannya dalam kehidupan manusia. Risti takkan sampai terpikir bahwa kejadian pembunuhan yang sedang ia simak beritanya itu, akan menjadi kasus yang paling rumit yang pernah ia tangani selama ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun