Televisi layar datar yang tergantung di atas dinding di hadapan ranjangnya itu ia nyalakan dalam pada itu. Tak lama kemudian terlihat siaran berita dari channel yang tak pernah ia ganti sama sekali itu. Menyiarkan tentang dugaan pembunuhan yang dilakukan terhadap seseorang yang ditemukan tak bernyawa lagi, di sebuah lorong di wilayah pusat kota.
Sambil melepaskan pakaiannya untuk kemudian menukarkannya dengan yang kering, Risti menyimak wawancara yang dilakukan kepada orang yang pertama kali menemukan jasad orang itu, yang tampaknya lebih memilih untuk melaporkan kejadian itu kepada stasiun televisi daripada melaporkannya ke kepolisian.
Risti menyimaknya dengan wajah yang datar. Bukannya ia tidak bersimpati kepada korban, dan bukan pula ia sudah terbiasa menghadapi kasus kematian seperti ini. Hanya saja, dengan menarik dirinya untuk terlibat secara emosional akan menyebabkan ia dapat berpikir lebih jernih untuk dapat memecahkan kasus yang ada. Ia telah memilih untuk menjadi polisi, dan sejauh yang ia tahu, alasannya untuk itu belum berubah.
Seperti kapas yang dipintal menjadi benang dan benang ditenun menjadi kain, maka takdir akan memainkan peranannya dalam kehidupan manusia. Risti takkan sampai terpikir bahwa kejadian pembunuhan yang sedang ia simak beritanya itu, akan menjadi kasus yang paling rumit yang pernah ia tangani selama ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H