"Dia siapa, Pak?" tanya Inan, 3 tahun, kepada bapaknya, sambil menunjuk ke arah altar, ke arah figur yang kedua tangannya merentang dan terpaku, kedua kakinya ditumpuk dan juga terpaku, di sebuah kayu salib, sehabis mengikuti misa hari Minggu bersama bapaknya.
"Seorang Sahabat, Nak," jawab bapaknya setelah terdiam untuk beberapa lamanya.
---
"Apakah Amad juga sahabat, Pak?" tanya Inan, 7 tahun, kepada bapaknya, sambil menahan tangisnya, di hadapan sebuah tubuh yang membujur kaku, dilapisi dengan kain kafan dan kemudian sarung di atasnya. Tergantung di atas dinding di dekat situ, sebuah bingkai berisikan foto anak kecil seumurannya, di bagian bawah foto tersebut sebuah kertas bertuliskan Muhammad Nurcahya ditempelkan.
Bapaknya terdiam, sejenak dia hampir tak kuasa menahan tangis dari matanya yang sudah berkaca-kaca.
"Ya, Nak, Amad juga seorang sahabat," sambil mendekatkan anak semata wayangnya itu ke pelukannya.
Kemarin Amad menukar nyawanya dengan nyawa Inan ketika Inan tenggelam karena kakinya keram manakala mereka berenang di sungai. Sejatinya mereka berdua perenang andal, namun takdir menentukan lain. Melihat Inan yang tak kunjung muncul setelah cukup lama menyelam, Amad bergegas menceburkan dirinya kembali ke sungai, dan menyelam ke tempat yang ia perkirakan Inan sedang berada disitu, airnya tak cukup jernih untuk dapat melihat apa yang ada di dekat dasar sungai.
Setelah dua kali kembali ke permukaan untuk mengambil napas karena dia berenang dengan begitu tergesa, Amad akhirnya berhasil menemukan Inan, dan mendorongnya sekuat tenaga ke permukaan. Inan lalu berenang sebisanya ke pinggiran sambil menahan sakit kakinya yang keram itu. Setelah berhasil mengatasi sebagian keram kakinya itu, Inan menyadari bahwa Amad tak kunjung kembali muncul ke permukaan. Takut akan kakinya yang akan keram kembali apabila ia langsung menceburkan diri ke air sungai yang pada hari itu cukup dingin, Inan memutuskan berlari untuk meminta bantuan penduduk sekitar, keramnya kembali muncul namun ia sudah tak lagi peduli.
Namun sekembalinya ia beserta beberapa penduduk sekitar ke sungai itu, Amad masih tak kelihatan batang hidungnya. Dan setelah pencarian beberapa lama kemudian, salah satu penduduk menemukan dan mengangkat Amad ke permukaan dalam kondisi sudah tidak lagi bernyawa.
---
"Apakah kamu menganggap Bapak ini sahabat, Nak?" tanya bapaknya dengan susah payah di atas ranjangnya, di rumah mereka yang sederhana.
Inan, 13 tahun, makin meleleh airmatanya ditanyai demikian. Setelah berhasil mengatasi gejolak yang ditimbulkan pertanyaan bapaknya, iapun menganggukkan kepala, "sudah tentu, Pak."
"Jadi, maukah kamu mendengarkan sekedar nasihat dari sahabatmu ini?"
"Katakan saja, Pak, Inan pasti akan mengikutinya."
"Pertimbangkanlah untuk sekolah seminari, Nak," berucap bapaknya, dan tak lama menghembuskan napasnya yang terakhir.
---
"Apa kamu sudah menganggap Dia sebagai sahabatmu?" tanya pastur kepala sekolah seminari kepada Inan, 15 tahun, sambil mengangkat tangan menunjuk figur yang di kayu salib yang tergantung di dinding di belakangnya.
Menimbang bahwa di satu sisi itu adalah permintaan salah satu dari dua sahabat yang pernah ia miliki di dunia ini, dan menimbang bahwa bapaknya juga pernah mengatakan perihal kebohongan, bagaimanapun manisnya hanya akan berbuah pahit. Dan kejujuran, bagaimana pahitnya, dan belum tentu akan terbukti manis di kemudian hari, tapi kita tidak akan terbebani oleh setidaknya kebohongan itu sendiri. Hal itu membuat Inan terpaku dalam ragu. Dia mau memenuhi permintaan sahabatnya, tapi jika dia berkata jujur bahwa dia belum menganggap Dia sebagai sahabat, apakah ia akan diterima?
Pastur menangkap keraguan tersebut. Namun dia teringat dengan kesolehan salah satu umat di parokinya itu. Bagaimana khusuknya bapak Inan mengikuti misa pagi setiap hari, tanpa pernah alpa kecuali pada saat-saat penghujung usianya. Sang pastur tau bahwa bapak Inan tidak pernah meminta kepadanya secara pribadi perihal membantu Inan agar dapat masuk sekolah seminari. Tapi dia menyadari kerinduan bapak Inan akan kekasihnya di surga itu. Sebagaimana dirinya sendiri. Dan karena menangkap keraguan Inan itu sendiri, ia akhirnya memutuskan bahwa Inan yang sebatang kara itu akan tinggal bersama mereka di sekolah seminari, tapi tetap bersekolah di sekolah biasa. Harapnya Inan akan terpanggil dengan kehendaknya sendiri, suatu saat nanti.
---
"Apakah aku boleh menjadi sahabatmu?" tanya Inan, 15 tahun, setelah akhirnya memberanikan diri untuk mengajak bicara gadis yang terus-terusan muncul dalam mimpinya itu. Gadis yang langsung ia kagumi begitu pertama kali bertemu. Tepatnya matanya yang mengaguminya, dan apalah daya otakmu bila matamu sudah berbicara?
Gadis yang pernah melempar senyum ke matanya. Gadis yang kibaran rambutnya kala tersapu angin telah membelai matanya. Gadis yang pandangan matanya telah merampas hak milik matanya hanya untuk gadis itu sendiri.
Gadis yang sama mukanya merona merah, namun hanya bisa mengatakan, "tidak."
Inan tidak bertanya lebih lanjut mengapa. Ia sudah di ujung asa. Bila gadis ini, yang sudah memegang hak milik atas matanya, tak mau menjadi sahabatnya, maka siapa lagi? Apa ia seharusnya mengatakan ya saja ketika teman sekelasnya menawarkan diri menjadi sahabatnya, namun terlebih dahulu dia harus mau menghisap bubuk putih yang dibakar itu? Bapaknya pernah mengingatkan dirinya untuk tidak mencobai hal-hal yang merugikan kesehatan, seperti rokok. Dan Inan tau perihal betapa buruknya bubuk putih itu. Namun di luar semua itu, Inan teringat kepada kedua sahabatnya ketika ia ditawari demikian. Apakah mereka menawarkan persahabatan mereka dengan persyaratan? Apakah dia hanya bisa menemukan sahabat jenis baru, sahabat dengan syarat?
Maka dia putuskan dalam keputusasaannya, bahwa cukup sudah pencariannya akan sahabat. Tapi tak dapat ia pungkiri hatinya yang kosong kemudian. Ia masih tak menampik hak milik gadis itu akan matanya, namun cinta tanpa berbalas adalah sesuatu yang baru baginya, hal yang belum bisa ia pahami untuk memberikan kebahagiaan tersendiri. Maka langkahnya dibawanya menghadap altar gereja. Sebagaimana bapaknya sering mengingatkan. Maka disitulah ia di sore hari ketika gadis itu mengatakan tidak. Berlutut dan bertanya kepada figur yang dikenalkan bapaknya belasan tahun lalu itu, "apakah engkau benar sahabatku?"
Kejadian pada sore itu sempat menjadi pergunjingan orang-orang yang tau mengenainya selama beberapa waktu. Ada yang bilang gereja itu sudah dikutuk. Ada yang bilang wajar, karena bangunannya sudah tua. Dan pendapat-pendapat lainnya baik dari umat gereja maupun yang beragama lain. Yang jelas, bagi Inan, hari dimana salib itu roboh dari tempatnya, tak lama setelah ia bertanya demikian, adalah anggukan dari seorang sahabatnya yang ketiga dalam hidupnya.
---
"Ferdinandus Gilang Wardoyo, selamat melanjutkan pendidikanmu ke seminari tinggi, semoga kamu semakin mendalami persahabatanmu dengan Yesus dan menerapkannya dalam apapun pilihan hidup yang kau tentukan nanti," ujar pastur kepala kepada Inan, 18 tahun, yang menerima uluran jabat tangan dari pastur kepala sekolah seminari.
"Terimakasih kepada pastur yang terus memberikan bimbingan dan kepercayaan kepada saya, saya tidak akan melupakan jasa pastur dalam hidup saya. Harapan saya adalah, kerinduan pastur akan diganjar dengan layak di mata Bapa, amin."
Pastur kepala tersenyum mendengarnya, dan menganggukan kepala, "amin."
---
Inan sedang memainkan organ untuk ibadah kedua pada hari Minggu itu, menggantikan umat awam yang biasanya karena berkaitan dengan perayaan minggu panggilan, dimana para frater sepertinya diminta salah satunya untuk menjadi paduan suara, selain akan mengikuti berbagai kegiatan lainnya pada minggu itu.
Tengah mempersiapkan mengulang lagu-lagu yang akan dimainkan, sebuah perasaan menyapunya begitu saja. Dia lalu teringat pada matanya, dan dia sapukan matanya itu kepada umat-umat yang sudah ada di bangku-bangku panjang yang berjejer itu, lalu tertumbuk pada sepasang mata yang sedang melempar senyuman kepada matanya. Sebuah senyuman yang menjembatani lima tahun yang hilang.
Yang dipelajarinya adalah tak ada sesuatu yang kebetulan, karena semua 'kebetulan' itu adalah bagian dari penggenapan suatu arti. Maka perihal mengapa ribuan kilometer dari tempat dimana dia menyerahkan hak milik atas matanya itu, dia dipertemukan kembali dengan sang pemegang hak milik, bukanlah suatu kebetulan.
Mungkin Tuhan sedang menguji persahabatan yang ia tawarkan tanpa syarat itu, pun sebaliknya. Mungkin pula Tuhan sedang mengisyaratkan bahwa inilah upah mengabdi kepada-Nya, dimana kebahagiaannya tak lagi muncul dari cinta tanpa berbalas yang masih juga belum ia pahami sepenuhnya. Dan berbagai kemungkinan lainnya berputar di benak Inan, selama ia memainkan nada-nada pengiring misa itu.
Pada waktu misa itu selesai, si gadis menghampirinya. Keberanian Inan lima tahun lalu berbalas. Dan seakan mengamini bahwa tidak ada suatu yang kebetulan, si gadis langsung mengutarakan pikirannya.
"Maafkan aku ya, karena butuh waktu lima tahun untuk menyadari bahwa yang kamu tawarkan waktu itu adalah sebuah hal yang tulus." Kemudian kata-kata itu seakan dibiarkan meresap oleh keduanya, karena untuk beberapa saat tak ada yang bicara.
"Apakah kamu menjadi frater karena aku?" tanpa menunggu jawaban Inan si gadis meneruskan, "maka bodohlah aku bila demikian, melepaskan kesempatanku untuk menjalin cinta denganmu." Setetes airmata hendak jatuh dari mata yang merampas hak milik mata Inan itu, namun dihapuskannya terlebih dahulu ketika ia mendengar panggilan dari temannya di belakangnya, yang lalu bergabung dengan mereka dan menganggukkan kepala ke Inan sambil berujar menyapa, "Frater," yang langsung disambut anggukan kepala Inan.
"Maaf ya Frater, tapi gadis cantik ini harus segera saya ambil karena kami akan bertugas di misa berikutnya," ujar teman si gadis kemudian sambil bercanda. Inan tersenyum menanggapinya dan berucap, "silakan, silakan," sambil memberikan tanda dengan tangannya. Gadis itu lalu membalikkan badan dan pergi dengan temannya yang menggandeng lengannya. Sebelum lepas dari pandangan keduanya, si gadis menoleh sekali lagi, dan mendapatkan Inan masih berada di tempatnya dan masih memandangnya. Sebuah senyum dilemparkan lagi ke mata Inan.
---
"Gadis, buat kamu nih, dari seorang lelaki yang rupanya kurang begitu berani untuk memberikannya sendiri kepadamu, tapi anehnya cukup berani untuk menitipkannya lewat seorang frater."
"Entah ya, mungkin lelaki itu melihat kamu yang sedang berbicara dengan frater waktu hari Minggu lalu, dan frater itu lalu menitipkannya kepadaku karena kami kebetulan bertemu pada esok harinya, bertepatan dengan selesainya kegiatan para frater itu di paroki kita."
Gadis menerima surat itu sambil setengah bertanya, "dari seorang lelaki?"
"Iya, kata si frater begitu. 'Seorang lelaki menitipkan suratnya untuk Gadis', atau kurang lebih seperti itulah. Hayo, umat mana lagi nih yang kesengsem sama si cantik ini," goda teman Gadis kemudian, yang hanya ditanggapi dengan senyum oleh Gadis, yang kemudian memasukkan surat tersebut ke dalam tasnya.
Malam hari itu, di kamarnya, ketika ia sudah yakin takkan ada lagi yang akan mengetuk pintu kamar tidurnya, Gadis mengeluarkan amplop putih yang berisikan surat itu dari tasnya, dan menimang-nimangnya sejenak. Di bagian muka tertulis, 'untuk Gadis'. Dia sudah tau bahwa Inanlah sang penulis surat itu, yang mana ia tak berbohong mengenainya dengan berkata 'seorang lelaki', yang kebetulan temannya itu tidak bertanya lagi lebih lanjut mengenai lelaki yang mana. Terlintas di benaknya mengenai kebetulan. Tidak ada suatu yang kebetulan. Dia lalu membuka amplop surat tersebut.
Â
Untuk Gadis,
Benar bahwa kamu yang yang 'mengantarkan' aku menjadi seorang frater, dan kuterima maafmu perihal lima tahun. Aku sendiripun kadang bertanya, mengapa aku tidak mencoba lagi setelah usaha pertamaku ditolak olehmu. Rona merah mukamu telah membuka jalan, hanya saja jiwa seorang pemuda kesepian kadang tak tertahankan kujadikan alasan.
Kesepian yang makin menjadi karena aku haus akan sahabat, yang pernah kumiliki, bahkan dua orang, di masa lalu, tanpa sempat aku memberikan apapun kepada mereka yang telah memberikan banyak kepadaku. Aku haus akan seorang sahabat lagi bukanlah karena aku haus akan pemberian tanpa balas jasa yang begitu bertubi, melainkan aku haus untuk membalasnya.
Aku haus untuk membalas pengorbanan nyawa Amad untukku. Aku haus untuk membalas semua yang telah diajarkan dan diberikan oleh Bapakku. Dan mereka berdua memberikannya kepadaku tanpa syarat apapun.
Sehingga ketika menurutku Tuhan mengatakan ya ketika aku menawarkan diri menjadi sahabat-Nya, maka sejak itu pula aku ingin mencukupi rasa hausku untuk membalas kebaikan para sahabatku sebelumnya.
Mengenai kamu sendiri, aku yang sempat mengalami kekosongan karena mencinta tanpa berbalas darimu, namun juga tiada berdaya untuk melepaskan hak milik mataku darimu, menjadi lebih sadar akan arti cinta dengan dipertemukannya kita oleh 'kebetulan' ini. Keberanianmu menghampiriku, yang berujung dengan setetes airmata, telah mengatakan kepadaku bahwa tiadalah sia-sia aku memberikan hak milik mataku kepadamu.
Tiadalah sia-sia sebuah cinta yang kita rasakan tiada berbalas, selama kita memang benar-benar menyelaminya. Mungkin, itulah arti cinta yang sesungguhnya.Â
Maka harapan dan doaku bagimu adalah, kau akan menemukan cinta seperti itu, sebagaimana cintaku kepadamu. Dan percayalah, aku akan membawa perasaan ini sampai aku mati. Bilamana aku dinyatakan berdosa atas ini, maka aku sudah siap menanggungnya.
Aku hanya bisa memohonkan ampun kepada-Nya. Dia, yang telah memapahku kala ku tertatih dalam hidup ini. Dia, yang telah mau menjadi sahabatku. Maka bertambah tubi lagi imbalan yang harus kuseimbangkan. Jadi kumohon maaf darimu bilamana aku memutuskan sebagaimana ini.
Doaku pasti kukirimkan kepada-Nya setiap waktu, agar engkau suatu saat nanti akan beroleh kebahagiaanmu sendiri.
Â
dari yang akan selalu mencintaimu,
Inan
Â
Â
April, 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H