Malam hari itu, di kamarnya, ketika ia sudah yakin takkan ada lagi yang akan mengetuk pintu kamar tidurnya, Gadis mengeluarkan amplop putih yang berisikan surat itu dari tasnya, dan menimang-nimangnya sejenak. Di bagian muka tertulis, 'untuk Gadis'. Dia sudah tau bahwa Inanlah sang penulis surat itu, yang mana ia tak berbohong mengenainya dengan berkata 'seorang lelaki', yang kebetulan temannya itu tidak bertanya lagi lebih lanjut mengenai lelaki yang mana. Terlintas di benaknya mengenai kebetulan. Tidak ada suatu yang kebetulan. Dia lalu membuka amplop surat tersebut.
Â
Untuk Gadis,
Benar bahwa kamu yang yang 'mengantarkan' aku menjadi seorang frater, dan kuterima maafmu perihal lima tahun. Aku sendiripun kadang bertanya, mengapa aku tidak mencoba lagi setelah usaha pertamaku ditolak olehmu. Rona merah mukamu telah membuka jalan, hanya saja jiwa seorang pemuda kesepian kadang tak tertahankan kujadikan alasan.
Kesepian yang makin menjadi karena aku haus akan sahabat, yang pernah kumiliki, bahkan dua orang, di masa lalu, tanpa sempat aku memberikan apapun kepada mereka yang telah memberikan banyak kepadaku. Aku haus akan seorang sahabat lagi bukanlah karena aku haus akan pemberian tanpa balas jasa yang begitu bertubi, melainkan aku haus untuk membalasnya.
Aku haus untuk membalas pengorbanan nyawa Amad untukku. Aku haus untuk membalas semua yang telah diajarkan dan diberikan oleh Bapakku. Dan mereka berdua memberikannya kepadaku tanpa syarat apapun.
Sehingga ketika menurutku Tuhan mengatakan ya ketika aku menawarkan diri menjadi sahabat-Nya, maka sejak itu pula aku ingin mencukupi rasa hausku untuk membalas kebaikan para sahabatku sebelumnya.
Mengenai kamu sendiri, aku yang sempat mengalami kekosongan karena mencinta tanpa berbalas darimu, namun juga tiada berdaya untuk melepaskan hak milik mataku darimu, menjadi lebih sadar akan arti cinta dengan dipertemukannya kita oleh 'kebetulan' ini. Keberanianmu menghampiriku, yang berujung dengan setetes airmata, telah mengatakan kepadaku bahwa tiadalah sia-sia aku memberikan hak milik mataku kepadamu.
Tiadalah sia-sia sebuah cinta yang kita rasakan tiada berbalas, selama kita memang benar-benar menyelaminya. Mungkin, itulah arti cinta yang sesungguhnya.Â
Maka harapan dan doaku bagimu adalah, kau akan menemukan cinta seperti itu, sebagaimana cintaku kepadamu. Dan percayalah, aku akan membawa perasaan ini sampai aku mati. Bilamana aku dinyatakan berdosa atas ini, maka aku sudah siap menanggungnya.
Aku hanya bisa memohonkan ampun kepada-Nya. Dia, yang telah memapahku kala ku tertatih dalam hidup ini. Dia, yang telah mau menjadi sahabatku. Maka bertambah tubi lagi imbalan yang harus kuseimbangkan. Jadi kumohon maaf darimu bilamana aku memutuskan sebagaimana ini.