Inan, 13 tahun, makin meleleh airmatanya ditanyai demikian. Setelah berhasil mengatasi gejolak yang ditimbulkan pertanyaan bapaknya, iapun menganggukkan kepala, "sudah tentu, Pak."
"Jadi, maukah kamu mendengarkan sekedar nasihat dari sahabatmu ini?"
"Katakan saja, Pak, Inan pasti akan mengikutinya."
"Pertimbangkanlah untuk sekolah seminari, Nak," berucap bapaknya, dan tak lama menghembuskan napasnya yang terakhir.
---
"Apa kamu sudah menganggap Dia sebagai sahabatmu?" tanya pastur kepala sekolah seminari kepada Inan, 15 tahun, sambil mengangkat tangan menunjuk figur yang di kayu salib yang tergantung di dinding di belakangnya.
Menimbang bahwa di satu sisi itu adalah permintaan salah satu dari dua sahabat yang pernah ia miliki di dunia ini, dan menimbang bahwa bapaknya juga pernah mengatakan perihal kebohongan, bagaimanapun manisnya hanya akan berbuah pahit. Dan kejujuran, bagaimana pahitnya, dan belum tentu akan terbukti manis di kemudian hari, tapi kita tidak akan terbebani oleh setidaknya kebohongan itu sendiri. Hal itu membuat Inan terpaku dalam ragu. Dia mau memenuhi permintaan sahabatnya, tapi jika dia berkata jujur bahwa dia belum menganggap Dia sebagai sahabat, apakah ia akan diterima?
Pastur menangkap keraguan tersebut. Namun dia teringat dengan kesolehan salah satu umat di parokinya itu. Bagaimana khusuknya bapak Inan mengikuti misa pagi setiap hari, tanpa pernah alpa kecuali pada saat-saat penghujung usianya. Sang pastur tau bahwa bapak Inan tidak pernah meminta kepadanya secara pribadi perihal membantu Inan agar dapat masuk sekolah seminari. Tapi dia menyadari kerinduan bapak Inan akan kekasihnya di surga itu. Sebagaimana dirinya sendiri. Dan karena menangkap keraguan Inan itu sendiri, ia akhirnya memutuskan bahwa Inan yang sebatang kara itu akan tinggal bersama mereka di sekolah seminari, tapi tetap bersekolah di sekolah biasa. Harapnya Inan akan terpanggil dengan kehendaknya sendiri, suatu saat nanti.
---
"Apakah aku boleh menjadi sahabatmu?" tanya Inan, 15 tahun, setelah akhirnya memberanikan diri untuk mengajak bicara gadis yang terus-terusan muncul dalam mimpinya itu. Gadis yang langsung ia kagumi begitu pertama kali bertemu. Tepatnya matanya yang mengaguminya, dan apalah daya otakmu bila matamu sudah berbicara?
Gadis yang pernah melempar senyum ke matanya. Gadis yang kibaran rambutnya kala tersapu angin telah membelai matanya. Gadis yang pandangan matanya telah merampas hak milik matanya hanya untuk gadis itu sendiri.