Mohon tunggu...
Adi Putra
Adi Putra Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Hidup terus bergulir, kau bisa memilih diam atau mengikutinya, mengacuhkan atau mempelajarinya. Merelakan, atau meratapinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Hari Penyair

2 April 2016   11:47 Diperbarui: 2 April 2016   15:40 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: nyunyu.com"][/caption]Cak Din terbangun baru saja, dilihatnya penunjuk waktu, pukul tujuh. Dia terlambat bangun kalau begitu. Tak membuang waktu, dia langsung beranjak untuk kemudian melompat-lompat kecil di samping dipan, sambil menggumam kepada diri sendiri. Ayo, ayo, ayo, dia memikirkan dalam hati. Di mulutnya yang keluar adalah gumaman, lekas, lekas, lekas. Dia lalu merasa sedikit aneh, tapi tidak terlalu memikirkan lebih jauh lagi, dia langsung beranjak ke kamar mandi setelah mengambil handuknya terlebih dulu.

Sambil mandi Cak Din melakukan ritualnya seperti biasa. Mengirim pikirannya untuk mencari arti hidup. Kalau di waktu pagi ya sambil menikmati guyuran air yang dingin, dia lebih suka begitu. Namun, pikirannya belum terbangun seluruhnya, mengingat dia baru saja saja bangun beberapa saat yang lalu. Walaupun badannya sudah bangun sepenuhnya demi merasakan sensasi dingin di pagi hari. Alhasil, tak banyak yang dipikirkannya kali ini. Hidup ya hidup, begitu sajalah.

Istrinya yang sudah menyiapkan sarapan sedari tadi, masuk ke kamar seiring dengan Cak Din yang keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamar tidur mereka. Dia tak ingin mengganggu tidur Cak Din sebagaimana begitulah dirinya, namun bila Cak Din tidur lebih lama lagi, mau tidak mau dia harus membangunkannya, kalau tidak malah dimarahi Cak Din seperti tempo hari. "Sudah mandi toh, ayo buru, sarapan sudah siap," ujarnya kemudian, lalu beranjak keluar lagi. "Baik," jawab Cak Din singkat. Istrinya jadi terhenti sesaat demi mendengarkan ucapan Cak Din. Dia merasa sedikit aneh, tapi lalu mengangkat bahu dan meneruskan berlalu.

Cak Din kemudian berpakaian, menyisir rambut, dan mematut diri di hadapan cermin. Kurang keren, pikirnya. Mau bagaimana lagi, sudah mentok, lanjut pikirannya lagi. Dia lalu keluar kamar dan beranjak ke meja makan. Dia mengincar kopi yang harumnya sudah dia endus sedari tadi. Istrinya yang sudah ada di meja makan tengah menyiapkan santapannya hari ini. Televisi yang ada di ruang tamu yang bersebelahan dengan meja makan itu, sedang menayangkan berita pagi. Koruptor tertangkap tangan.

"Syukurin," cibir istrinya sambil menyendok nasi untuk Cak Din kemudian meletakkan piring itu di hadapan suaminya. Cak Din yang hanya berfokus hendak menyeruput kopi, jadi terhenti, dan lalu memandangi istrinya, yang tak lama kemudian menyadari pandangan suaminya itu. Dia lalu teringat suaminya yang baru bangun, mungkin belum ngumpul pikirannya. "Itu loh," ujarnya sambil mengarahkan dagunya ke arah televisi. Mata Cak Din mengikuti dagu mancung istrinya itu, dan lalu terpaku sejenak ke televisi. Ooo, pikirnya.

"kalau tiba waktu mereka

perampas napas-napas yang sudah terlunta

aku minta padamu, teman hidupku

panjatkanlah selaksa doa

yang kau mohon dengan sungguh-sungguh

biarkan belulang busuk mereka tak diterima tanah

biar belatung-belatung mengencingi jasad berlendir mereka

sehingga ciptaan yang paling hina sekalipun

akan merasa jijik untuk sekedar memandangnya." 

Cak Din lalu lanjut menyeruput kopi yang belum disentuhnya sama sekali itu. Di seberang meja, istrinya melongo dengan centong nasi di tangan. Mulutnya terbuka seperti bila seseorang terpana. Matanya hanya menatap Cak Din dan tak beranjak dari situ. Cak Din sedang menyeruput kopinya ketika kesadaran menyambar pikirannya. Brutt! kopinya tersembur mengenai piring berisi nasi dan piring-piring berisi lauk yang ada di meja makan itu.

"Hwarakadah!" istrinya berteriak kaget. Kaget karena apa pun itu yang diucapkan Cak Din barusan, yang dibalut dengan semburan kopi dari mulut Cak Din yang kini tak lagi harum. 

 

Jakarta, April 2016

ilustrasi diambil dari www.nyunyu.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun