"Ibu, apakah lebaran ini aku jadi dibelikan baju lebaran?" tanya Sita.
Si ibu yang sedang memarut kelapa hanya terdiam. Antara mendengar dan tidak, yang jelas di benaknya hanya ada pertanyaan bagaimana mengolah ubi yang cepat dan enak sehingga menjadi kudapan lezat. Para pelanggan sudah menanti kue buatan ibu Sita ini.Â
"Ibu, kenapa Ibu diam? Ibu dengar suara Sita, 'kan?" Gadis kecil berumur 7 tahun itu kembali bertanya.Â
"Ada apa, Sita? Maaf, Ibu tidak mendengar, Nak. Ibu sedang memikirkan pesanan Bu Hendra ini. Supaya uangnya bisa buat tambahan beli baju lebaran Sita." Dengan tersenyum dan suara yang bijaksana, ibu Sita menjawab.Â
"Hore! Berarti aku jadi beli baju kan, Bu?" Suara Sita menegaskan.Â
"Insyaallah, ya, Nak. Sita mau baju yang warna apa?"Â
"Sita mau baju panjang yang warna biru, Bu. Kata teman Sita namanya baju frozen," jawab Sita.Â
"Iya, nanti kita beli di pasar, ya. Semoga uang Ibu cukup buat belikan kamu baju."Â
"Asyik! Sita punya baju baru!"Â
Saking senangnya akan dibelikan baju lebaran, tanpa sengaja Sita menyenggol tempat air hingga menumpahi adonan kue yang sedang didiamkan.Â
"Sita! Ya ampun, Nak! Kenapa kamu nggak hati-hati, sih? Ibu nggak jadi kirim kue pesanan Bu Hendra kalo begini!" Sedikit emosi, ibu Sita meraih adonan kue yang sudah tercampur air.Â
"Maafkan Sita, Bu. Sita nggak sengaja!" Dengan ketakutan Sita meminta maaf kepada ibunya.Â
"Lihat ini! Ibu nggak bisa bikin kue kalo begini. Harus bikin adonan baru lagi. Dan itu artinya uang yang akan digunakan untuk beli bajumu harus Ibu pake belanja bahan. Kamu nggak jadi beli baju!"Â
Sita hanya terdiam di sudut ruang. Ia menyesali tingkahnya yang terlalu gembira ketika akan dibelikan baju baru oleh ibunya. Kecerobohannya kini menghancurkan harapannya.Â
Melihat keadaan Sita yang murung, si ibu mendekati putrinya. Didekapnya lembut putri satu-satunya itu. Dengan suara lirih perempuan itu berkata.Â
"Maafkan Ibu, ya, Sita. Ibu tidak bermaksud memarahimu. Ibu hanya kecewa jika uang yang sudah terkumpul untuk beli bajumu harus digunakan untuk belanja bahan lagi," ucap ibu Sita.Â
"Sita yang minta maaf, Bu. Karena ulah Sita, Ibu jadi bikin kue lagi. Maafkan Sita, ya, Bu, nggak apa-apa Sita nggak dibelikan baju baru. Kan Ibu bilang, lebaran nggak harus pake baju baru. Baju yang lama kalo masih bagus boleh dipake lagi. Baju Sita kan masih bagus-bagus."
Ibu itu terharu melihat putri kecilnya yang bisa memahami keadaan mereka. Sudah tiga tahun sejak kepergian ayahnya, Sita jarang merasakan kebahagiaan layaknya anak seumuran dengannya. Ia hanya merasakan keprihatinan yang berkepanjangan karena kondisi mereka yang serba kekurangan.Â
"Ibu janji, Sita. Nanti kalo Ibu punya uang akan Ibu belikan baju baru buat Sita."
"Nggak usah, Bu. Sita nggak pake baju baru juga nggak apa-apa. Kan Sita sering pake baju baru juga, yang dikasih Dona kan selalu bagus, Bu."Â
Ibunya berlinang air mata, ketika mengingat Sita kecil selalu memakai baju bekas pemberian tetangganya. Baju-baju pemberian itu memang masih bagus dan bermerek, tetapi selalu bekas orang lain. Sejak kematian suaminya, jarang sekali ibu Sita membelikan baju untuk putri semata wayangnya itu.
Tiba-tiba terdengar pintu diketuk, ibu Sita segera mengusap air mata dan bangkit hendak membuka pintu. Tampak Bu Hendra berdiri di depan pintu dengan kedua tangan membawa tas jinjing.Â
"Assalamualaikum, Bu Sita, nanti kuenya kalo sudah matang langsung kirim ke masjid saja, ya. Saya mau pergi, jadi nggak usah diantar ke rumah. Ini uang pelunasan ada di dalam, sisanya ambil buat jajan Sita. Ini juga ada sedikit bingkisan buat Ibu dan Sita. Diterima, ya. Maaf kalo kurang cocok." Sambil menyerahkan tas dari tangan kiri dan kanan, Bu Hendra tersenyum manis.Â
Sita dan ibunya hanya termangu. Tangan mereka memang menerima bingkisan, Â tetapi wajahnya tampak bingung. Ucapan terimakasih sampai tak keluar dari bibir keduanya hingga Bu Hendra melangkah.Â
Seketika ibu Sita sadar, dengan sedikit gugup ia berkata, "Bu Hendra, maa-maaf, terimakasih sekali. Semoga Ibu segera mendapat balasan dari Allah."
Bu Hendra hanya tersenyum dari kejauhan sambil melambaikan tangan.Â
Sita dan ibunya saling berpandangan. Mereka menutup pintu lagi. Lalu, membuka bingkisan dari Bu Hendra.Â
Ada dua potong baju seukuran Sita dengan warna yang cerah. Sepotong gamis lengkap dengan kerudungnya. Beberapa toples kue kering. Antara percaya dan tidak, tapi semua ada di depan mata.Â
Sita dan ibunya saling berpelukan. Air mata tak bisa dibendung dari mata mereka. Rasa syukur yang dalam tampak di wajah mereka.Â
"Ibu, inilah baju lebaran yang Sita mau. Baju lebaran yang dikirim Allah untuk Sita. Nggak baru nggak apa-apa, tapi nggak membuat Ibu susah payah mendapatkannya."
"Betul, Nak. Lebaran bukan hanya perkara baju harus baru. Lebaran adalah peristiwa ketika kita seperti terlahir kembali dan mengenakan pakaian baru. Yaitu pakaian keimanan. Jadikan itu sebagai inspirasimu, Nak. Ibu akan bangga padamu."Â
Keduanya lalu saling memeluk erat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H