"Sita! Ya ampun, Nak! Kenapa kamu nggak hati-hati, sih? Ibu nggak jadi kirim kue pesanan Bu Hendra kalo begini!" Sedikit emosi, ibu Sita meraih adonan kue yang sudah tercampur air.Â
"Maafkan Sita, Bu. Sita nggak sengaja!" Dengan ketakutan Sita meminta maaf kepada ibunya.Â
"Lihat ini! Ibu nggak bisa bikin kue kalo begini. Harus bikin adonan baru lagi. Dan itu artinya uang yang akan digunakan untuk beli bajumu harus Ibu pake belanja bahan. Kamu nggak jadi beli baju!"Â
Sita hanya terdiam di sudut ruang. Ia menyesali tingkahnya yang terlalu gembira ketika akan dibelikan baju baru oleh ibunya. Kecerobohannya kini menghancurkan harapannya.Â
Melihat keadaan Sita yang murung, si ibu mendekati putrinya. Didekapnya lembut putri satu-satunya itu. Dengan suara lirih perempuan itu berkata.Â
"Maafkan Ibu, ya, Sita. Ibu tidak bermaksud memarahimu. Ibu hanya kecewa jika uang yang sudah terkumpul untuk beli bajumu harus digunakan untuk belanja bahan lagi," ucap ibu Sita.Â
"Sita yang minta maaf, Bu. Karena ulah Sita, Ibu jadi bikin kue lagi. Maafkan Sita, ya, Bu, nggak apa-apa Sita nggak dibelikan baju baru. Kan Ibu bilang, lebaran nggak harus pake baju baru. Baju yang lama kalo masih bagus boleh dipake lagi. Baju Sita kan masih bagus-bagus."
Ibu itu terharu melihat putri kecilnya yang bisa memahami keadaan mereka. Sudah tiga tahun sejak kepergian ayahnya, Sita jarang merasakan kebahagiaan layaknya anak seumuran dengannya. Ia hanya merasakan keprihatinan yang berkepanjangan karena kondisi mereka yang serba kekurangan.Â
"Ibu janji, Sita. Nanti kalo Ibu punya uang akan Ibu belikan baju baru buat Sita."
"Nggak usah, Bu. Sita nggak pake baju baru juga nggak apa-apa. Kan Sita sering pake baju baru juga, yang dikasih Dona kan selalu bagus, Bu."Â
Ibunya berlinang air mata, ketika mengingat Sita kecil selalu memakai baju bekas pemberian tetangganya. Baju-baju pemberian itu memang masih bagus dan bermerek, tetapi selalu bekas orang lain. Sejak kematian suaminya, jarang sekali ibu Sita membelikan baju untuk putri semata wayangnya itu.