Mohon tunggu...
Any Sukamto
Any Sukamto Mohon Tunggu... Penulis - Belajar dan belajar

Ibu rumah tangga yang berharap keberkahan hidup dalam tiap embusan napas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Meraih Harta dan Takhta, Haruskah Ada Wanita?

1 Maret 2023   21:55 Diperbarui: 1 Maret 2023   21:59 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar oleh Pixabay.com 

Apakah dia istrinya? Atau cuma istri simpanan? Mereka terlihat bahagia sekali. Berapa lama mereka menikah? Apakah di usia pernikahannya yang sekarang mereka juga masih bisa mesra seperti awal menikah?


Apakah semua lelaki sama? Ketika memiliki harta dan takhta maka ia akan menambah wanitanya? Ah, tidak semua begitu, nyatanya ada yang sampai renta masih terus bersama.
Tapi mengapa aku harus mengalaminya? Kenapa harus aku yang mendapat lelaki tak setia? Kenapa harus aku yang merasakan kecewa? Kenapa?


Pertanyaan-pertanyaan semacam itu selalu melintas di benakku saat melihat seorang lelaki berbadan tegap dengan penampilan bagus menggandeng wanitanya. Aku tak kuasa menghalanginya. Selalu saja muncul tiba-tiba dan itu membuatku sakit hati sendiri.


Ya, bagaimana tidak? Di usia pernikahanku yang ke sekian, aku harus menghadapi batu ujian yang besar. Suamiku mulai bertingkah, dan itu didukung oleh keluarganya.
Mereka berpikir, dengan karier dan jabatan suamiku yang sekarang, sudah selayaknya beristri dua. Gila!


"Handoyo itu sudah pantas punya istri dua. Kedudukan dia yang sekarang itu rawan godaan. Makanya, biarkan dia menikah lagi, agar tidak berbuat dosa dengan membeli yang murahan," ucap ibunya Handoyo.


Aku tersentak mendengar kalimat itu. Ibu macam apa dia? Mana ada ibu yang menginginkan rumah tangga anaknya berantakan?


Aku hanya terdiam. Sepatah kata pun tak kuucapkan. Membiarkan mereka dengan pikirannya sendiri.


Mereka hanya memikirkan perasaan dan egonya sendiri. Apa mereka tidak memikirkan perasaanku? Bagaimana sakitnya jika diduakan?


Kenapa mereka tak ingat siapa anaknya sebelumnya? Bagaimana kehidupan sebelum anak lelakinya itu menikah dengan aku? Kenapa sekarang ia justru bertingkah seenaknya?


Aku tak pernah takut dengan ancaman mereka. Aku hanya ingin mempertahankan rumah tanggaku. Jika mereka ingin menuruti keinginan sendiri, aku juga bisa.
*** 


Kondisi rumah tanggaku makin hari makin melelahkan. Sejak mereka menyampaikan kalimat itu, aku makin tak menghiraukan suamiku. Mungkin tak seharusnya aku berbuat begitu, bagaimanapun juga kami masih pasangan yang sah, ada kewajiban yang harus kulakukan terhadap suamiku.
Akan tetapi, percuma aku berbuat baik, tak akan terlihat di mata mereka. Hanya harta dan harta yang ada di benaknya.

Pertimbangan ingin menikah lagi juga karena harta. Calon istri Handoyo adalah pewaris tunggal pemilik perusahaan ternama yang memiliki beberapa anak perusahaan. Siapa yang tak tergiur?


Untuk menghilangkan jenuh di rumah, aku sering mendatangi rumah temanku. Entah hanya sekadar mengobrol, atau memang ada pertemuan lain. Aku jadi sering datang ke undangan teman-teman yang punya hajat.


Dulu, jangankan mau keluar rumah, ke halaman depan saja aku diantar. Begitu takutnya dia kehilangan aku. Namun kini, aku tak pulang pun tak dicari.


"Hai, Rie, tumben nongol? Biasanya sulit banget diajak ketemuan?" tanya Riska.
"Iya, sesekali boleh 'kan? Aku sudah kangen sama candaan anak-anak. Makanya datang," jawabku.


"Sering-sering juga boleh. Nggak ada yang nglarang, paling suami lo aja yang tegang wajahnya," celetuk Ari.


Suara tawa pun segera menggema memenuhi ruangan. Aku bahagia sekali bisa berada di antara mereka. Lepas dari pikiran rumit masalah rumah tanggaku.


Sayangnya, hal-hal semacam itu malah digunakan untuk menjatuhkan aku. Dibilangnya aku bukan wanita baik-baik, sering keluar malam, suka selingkuh, tak patuh pada suami.  


Silakan saja, kalau bisa membuktikan aku selingkuh, berarti dia memang hebat, dan tak perlu dipertahankan lagi. Sejauh ini, aku sudah berusaha menjaga marwah keluarga. Justru dia yang sering kedapatan selingkuh, tapi malah aku yang difitnah.
*** 


Malam itu, aku datang ke rumah Maya yang sedang berulang tahun. Dia mengundang beberapa teman baiknya. Tak banyak yang datang, tapi cukup berkesan untuk pesta sederhana malam itu.


Tak sengaja, aku berkenalan dengan teman Maya. Seorang laki-laki. Tampangnya tak mengecewakan, postur tubuh tinggi, tegap, tampaknya seorang tentara. Kulitnya bersih, terkesan kalau dia orang berada.


"Hai, boleh duduk sini?" sapa lelaki itu.
"Silakan, masih kosong, kok," jawabku santai. Akhirnya kami berkenalan.
Setelah berbincang sesaat, aku baru tahu namanya. Ternyata dia dulu satu SMP denganku. Kebetulan saja kami tak pernah sekelas. Padahal, tiap kenaikan kelas selalu diacak lagi.


Namanya Bagas, cocok dengan gesturnya yang menawan. Ternyata dia seorang pengusaha, bukan perwira seperti yang kukira. Kami akhirnya terlibat percakapan yang panjang, membicarakan masa lalu saat kami masih duduk di bangku putih biru.


Cerita punya cerita, ternyata Bagas seorang duda beranak dua dan masih kecil-kecil. Istrinya meninggal karena sakit. Kedua anaknya dirawat sendiri dengan bantuan seorang pembantu.


"Anak-anak tinggal sama aku. Kalau aku keluar begini mereka sama pembantu. Aman, kok. Sudah seperti nenek sendiri," cerita Bagas.


Ah, kenapa aku jadi memikirkan dia? Baru juga kenal, kenapa aku memikirkan kehidupan pribadinya? Sementara, masalah pribadiku saja belum berakhir. Aku tak ingin memperkeruh keadaan.
*** 


Perkenalanku dengan Bagas ternyata tak putus hanya di situ. Di acara-acara berikutnya kami sering bertemu. Tak ada niat lain selain hanya berteman karena Bagas lelaki yang enak diajak mengobrol, penuh pengertian, dan wawasannya luas.


Apa karena aku sudah jarang berbincang dengan suamiku? Apa karena aku sedang membutuhkan lelaki untuk sandaran? Ada apa denganku? Bagaimanapun juga, Bagas bukan penyebab keretakan rumah tanggaku.


Sementara, kondisi keluargaku makin keruh. Tak ada pilihan lain selain aku harus bercerai dengan Handoyo. Tingkahnya yang keterlaluan sudah tak bisa ditoleransi lagi. Anak-anak makin ketakutan dengan ulah papanya.


Peristiwa demi peristiwa terjadi. Makin hari anak-anak makin kehilangan sosok ayah di rumahnya. Kedua putraku tak boleh meniru sikap jelek papanya. Dan putriku tak boleh melihat kelakuan buruk walinya kelak.


Aku memutuskan keluar dari rumah demi keamanan dan psikologis anak-anakku. Meski rumah ini dulu dibeli oleh ayahku, aku tak takut kehilangan harta. Bagiku yang utama adalah anak-anak.


"Kita pergi saja. Cari kontrakan yang aman. Daripada malam-malam papamu pulang marah-marah dan mengancam, lebih baik kita mengalah," ajakku pada anak-anak.


Dengan membawa baju secukupnya, kami pergi meninggalkan rumah. Sebuah rumah mungil nan asri menjadi tujuan kami. Untuk beberapa bulan ke depan kami akan tinggal di sana.
***


Sidang demi sidang berjalan dengan sengit. Handoyo tak mau melepas sebagian harta, rumah, dan mobilnya sebagai gono-gini. Dia tak ingin kehilangan harta yang membawanya ke puncak kesuksesan.


Dengan dibantu pengacara andal, aku pun bertahan. Sebisa mungkin rumah dan mobil pemberian orang tuaku dulu kembali kepadaku. Saudara-saudara dan temanku pun memberi dukungan penuh, tak semudah itu menceraikanku tanpa harta yang pernah kubawa.


Di satu persidangan, Handoyo menyerah. Dia tak ingin perceraian terjadi. Dia berjanji akan memperbaiki keadaan dan meminta maaf atas semua kejadian.


"Ririe, aku minta maaf selama ini telah jahat kepadamu. Aku ingin memperbaiki hubungan kita dan pulanglah ke rumah. Kita mulai lagi dengan kehidupan baru."


"Ah, alasan basi. Karena takut kelihatan miskin aja kan? Kenapa baru sekarang sadarnya? Kenapa nggak lalu-lalu memperbaiki kesalahan. Gombal!" umpatku.


"Rie, lihatlah anak-anak. Apa kamu tak kasihan melihat mereka menderita?"


"Mereka lebih menderita lagi jika melihat papanya pulang sama perempuan lain yang ingin menggantikan posisi mama kandungnya. Paham?"


"Hal itu tak akan terjadi lagi, Rie. Aku janji!"


Namun, luka yang telah ia torehkan masih membekas dan terasa perih. Tak semudah itu menjilat ludah kembali. Luka menganga masih belum tersembuhkan.
***


Keputusan terakhir dibacakan oleh hakim pengadilan agama. Harta yang dulu kubawa akhirnya kembali menjadi milikku. Harta gono-gini tetap dibagi sesuai persetujuan.


Syukurlah, rumah yang sempat kutinggalkan akhirnya kembali kutempati. Mobil yang pernah disita Handoyo kini kembali kumiliki. Anak-anak pun masih dalam dekapanku.


Aku kini memulai kehidupan baru, tanpa suami yang ingin menduakanku.


(Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun