Sidang demi sidang berjalan dengan sengit. Handoyo tak mau melepas sebagian harta, rumah, dan mobilnya sebagai gono-gini. Dia tak ingin kehilangan harta yang membawanya ke puncak kesuksesan.
Dengan dibantu pengacara andal, aku pun bertahan. Sebisa mungkin rumah dan mobil pemberian orang tuaku dulu kembali kepadaku. Saudara-saudara dan temanku pun memberi dukungan penuh, tak semudah itu menceraikanku tanpa harta yang pernah kubawa.
Di satu persidangan, Handoyo menyerah. Dia tak ingin perceraian terjadi. Dia berjanji akan memperbaiki keadaan dan meminta maaf atas semua kejadian.
"Ririe, aku minta maaf selama ini telah jahat kepadamu. Aku ingin memperbaiki hubungan kita dan pulanglah ke rumah. Kita mulai lagi dengan kehidupan baru."
"Ah, alasan basi. Karena takut kelihatan miskin aja kan? Kenapa baru sekarang sadarnya? Kenapa nggak lalu-lalu memperbaiki kesalahan. Gombal!" umpatku.
"Rie, lihatlah anak-anak. Apa kamu tak kasihan melihat mereka menderita?"
"Mereka lebih menderita lagi jika melihat papanya pulang sama perempuan lain yang ingin menggantikan posisi mama kandungnya. Paham?"
"Hal itu tak akan terjadi lagi, Rie. Aku janji!"
Namun, luka yang telah ia torehkan masih membekas dan terasa perih. Tak semudah itu menjilat ludah kembali. Luka menganga masih belum tersembuhkan.
***
Keputusan terakhir dibacakan oleh hakim pengadilan agama. Harta yang dulu kubawa akhirnya kembali menjadi milikku. Harta gono-gini tetap dibagi sesuai persetujuan.
Syukurlah, rumah yang sempat kutinggalkan akhirnya kembali kutempati. Mobil yang pernah disita Handoyo kini kembali kumiliki. Anak-anak pun masih dalam dekapanku.