Dua bungkus nasi diserahkan adikku untuk kami, tetapi karena suamiku tidur aku disuruh makan lebih dulu. Meski lauk yang ada adalah lauk kesukaanku, tetapi rasanya tak karuan. Lidahku tak bisa membedakan manis, gurih, dan pedas. Semua terasa hambar.Â
Namun, aku harus makan. Tubuhku harus kuat. Siapa yang akan mengurus suamiku kalau bukan aku?Â
Sore menjelang  Ashar, adikku pamit. Ia akan mengantarkan surat dari kepolisian itu ke rumah sakit sebelumnya. Berharap biaya yang telah digunakan di sana bisa segera dikembalikan. Jumlahnya tak sedikit bagiku.Â
Aku sendiri lagi. Bisa dipahami juga saat itu Covid memang sudah melandai, tetapi tidak menutup kemungkinan virus-virus masih bertebaran di sana. Makanya dibatasi jumlahnya pengunjung atau penunggu.
Menjelang Magrib, baru kami dapat kepastian menginap di salah satu ruangan. Lega rasanya, artinya aku bisa merebahkan tubuh yang sudah lelah ini. Petugas pun datang memandu kami menuju ruang perawatan itu.Â
Sesampainya di sana, kuhubungi adikku yang lain. Aku minta dikirimkan perlengkapan mandi, salat, alas tidur, dan beberapa baju ganti. Gerah sekali rasanya tubuh ini. Aku ingin segera mandi dan ganti baju.Â
Proses pemeriksaan masih terus berlangsung malam itu. Informasi dari dokter, operasi tak bisa segera dilakukan karena harus dijadwalkan dulu. Belum jelas kapan jadwalnya keluar, tetapi sudah didaftarkan. "Tunggu antrean, ya, Bu," ucap salah satu dokter yang bertugas.Â
Tak ada pilihan lain selain menunggu.Â
Sambil menunggu jadwal, kondisi suamiku juga harus terus dipantau. Harus sesuai dengan syarat dan keadaan sebelum dilakukan operasi. Salah satunya pemeriksaan fungsi ginjal, jantung, tekanan darah, dan kadar gula harus normal. Â
Seminggu berlalu, pasien yang datang silih berganti dengan berbagai keluhan dan kondisi yang menyedihkan. Aku jadi teringat dua putriku yang waktu itu tinggal di rumah Ibu. Aku khawatir saat mereka berangkat kuliah atau sekolah, sebab yang kulihat di sekitarku adalah pasien korban kecelakaan.Â
Aku stres sendiri melihat keadaan di sana. Jadi ketakutan saat pagi atau sore menjelang anak-anak pulang ke rumah. Satu per satu selalu kutelepon untuk memastikan keadaannya. Untunglah mereka selalu aman, selamat sampai di rumah.Â