Mohon tunggu...
Any Sukamto
Any Sukamto Mohon Tunggu... Penulis - Belajar dan belajar

Ibu rumah tangga yang berharap keberkahan hidup dalam tiap embusan napas.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mampukan Aku (Part 2)

27 Februari 2023   19:24 Diperbarui: 27 Februari 2023   19:27 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu lorong RSUD dr. Soetomo, dokpri 

Setelah melewati beberapa proses pemeriksaan, termasuk diantaranya foto rontgen, aku hanya bisa menunggu panggilan-panggilan berikutnya. 

Ditemani adikku yang bungsu dan istrinya, aku melewati malam tanpa memejamkan mata barang sesaat. Bagaimana mungkin bisa terpejam, sebentar-sebentar ada panggilan dari perawat berkaitan dengan pemeriksaan anak dan suamiku. Sementara, kedua adikku yang lain telah kusuruh pulang sambil mengajak putriku yang bungsu. 

"Ibu, silakan ke meja dokter." Seorang perawat mendatangi brankar suamiku. 

Aku segera menuju ke meja yang ada di tengah ruangan, menemui seorang dokter yang terlihat sibuk dengan monitor komputer di depannya. Setelah duduk di kursi yang telah disediakan, dokter cantik itu mulai menjelaskan. 

Dengan seksama kudengar satu per satu kata yang diucapkannya. Untuk putriku, dia bisa pulang pagi ini. Tak ada yang perlu dikhawatirkan tentang keadaannya. Hasil foto rontgen menunjukkan tak ada yang retak atau patah. Memar bisa disembuhkan lewat obat jalan. 

Namun, untuk suamiku penjelasannya lebih panjang hingga pada suatu kesimpulan bahwa dia harus dioperasi. Tulang paha kirinya patah, tak ada cara lain untuk menyambungnya tanpa operasi. Aku lalu diminta segera mengurus administrasi agar suamiku segera mendapat tindakkan berikutnya. 

Terbayang sudah, proses operasi yang tak mudah dan pasti dengan biaya mahal. Dari mana aku mendapatkan biaya itu? Apakah mungkin operasi tanpa biaya? Sedangkan informasi yang kudengar sebelumnya, BPJS tak mau menanggung biaya pengobatan akibat kecelakaan. Ya Allah, apa yang harus kuperbuat? 

Setelah mengurus semua obat dan surat dokter untuk anakku, dia diizinkan pulang. Bersama adikku dan istrinya yang masih di rumah sakit menemaniku semalaman, anakku akhirnya pulang juga ke rumah Ibu. 

Aku sendirian di rumah sakit menjaga suamiku. Segala kemungkinan kutanyakan pada petugas administrasi rumah sakit. Berapa besarnya biaya operasi jika harus dilakukan di RS itu? Bagaimana jika menggunakan BPJS, mungkinkah? Sedangkan untuk proses pemeriksaan yang kami jalani saat itu saja kami harus membayar dulu.

Satu hal yang kuingat dari pernyataan petugas, "Ibu urus saja keterangan dari pihak kepolisian, karena itu syarat utama BPJS mau menanggung biaya perawatan. Kami tunggu 2x24jam, ya, Bu. Nanti uang Ibu yang sudah dibayarkan di sini akan kami kembalikan jika suratnya sudah dibawa ke sini." 

Aku masih ragu, antara penyembuhan alternatif atau tetap melanjutkan rujukan untuk operasi. Ada yang menyarankan ke alternatif saja, selain biayanya lebih murah setelahnya tidak harus kontrol. Hanya saat dipijat pertama itu saja terasa sakit bukan main, tapi setelahnya tidak.

Dilema, aku bingung. Tak tahu harus memilih yang mana. Antara biaya dan keinginan pasien menjalani pengobatan sangat-sangat membingungkan. 

Kucoba mencari info tentang alternatif yang dimaksud, tapi ada yang bilang biayanya juga mahal. Bayarnya harus langsung, harus lunas sebelum tindakan, tapi biaya tersebut bisa digunakan sampai sembuh. Maksudnya, termasuk beberapa kali kontrol setelahnya. 

Pertimbangan lain, kalau lanjut ke rumah sakit sudah jelas mahal biaya operasinya, tapi suamiku tak akan kesakitan sebab sebelum operasi pasti ada anestesi. Namun, lagi-lagi biaya jadi kendala, iya kalau ditanggung BPJS, kalau tidak? 

Akhirnya, aku menghubungi adikku untuk minta tolong diuruskan surat keterangan dari kepolisian. Sementara, aku menunggu kelanjutan proses perawatan di rumah sakit. Jika benar ruang perawatan di sini penuh, kemungkinan besar pasti suamiku akan dirujuk ke rumah sakit lain yang lebih besar. 

Benar saja, akhirnya kami harus melanjutkan perawatan dan berangkat ke RSUD dr Soetomo Surabaya. Info dari perawat, RSUD Sidoarjo pun sudah penuh, tak ada kemungkinan lagi  untuk dirawat di Sidoarjo. Hanya RS Soetomo yang masih bisa menerima pasien rujukan. 

Suara sirine ambulans seolah mengiris-iris hati. Sejak kejadian semalam, aku sama sekali tidak bisa meneteskan air mata. Kesibukan mengurus ini dan itu membuat air mataku beku. Namun, ketika laju ambulans membelah jalanan dengan iringan suara sirine yang tak henti-hentinya, hatiku terasa perih. 

"Kenapa harus aku yang mengalami ini, Ya Allah? Begitu banyakkah dosa yang telah kuperbuat sehingga harus dengan cara ini Kau gugurkan?"

Airmataku bercucuran tak henti selama dalam ambulans. Aku sudah berusaha menghentikan tetapi seolah sia-sia. Namun, seperti ada kekuatan lain yang tiba-tiba membisikkan sesuatu. 

"Kamu tak boleh berkata seperti itu, kamu harus kuat, harus bisa, harus mampu menghadapi ini semua. Mungkin inilah jalan yang Allah pilihkan untukmu agar kamu bahagia setelahnya. Yakinlah ada campur tangan Allah di balik semua ini." 

Aku tersadar, lalu menyeka airmata. Kubetulkan jilbab yang terasa miring, merapikannya lagi ujung-ujungnya. Dengan menarik napas panjang, kutata lagi napas agar tak lagi tersengal. Meyakinkan diri, ada Allah yang mengizinkan semua ini terjadi. Pasti ada jalan yang akan Dia tunjukkan untuk mengatasi semua ini. 

"Bimbing aku, Ya Robb, tuntun aku."

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun