Siang itu, kami berkesempatan bertemu langsung  dan berfoto dengan Bu Rudy. Dan memang benar, orangnya ramah. Kami didatangi saat sedang makan.
Beliau menanyakan bagaimana rasa masakannya. Apakah ada yang kurang atau ada yang harus ditambah? Tanpa ragu, kami menjawab berdasarkan rasa masakan yang kami pesan.
Bu Rudy langsung mengapresiasi jawaban kami dengan mengacungkan kedua jempolnya dan berterimakasih karena sudah membantu memberi masukan. Beliau menyampaikan hal itu penting bagi kedepannya. Kritik dan saran sangat dibutuhkan.
Mendengar ucapannya yang terkesan ramah dan seolah sudah mengenal kami lama, aku lalu memberanikan diri untuk bertanya.
"Bu Rudy usianya berapa?"
"Umurku sudah banyak, Mbak. Tujuh puluh," jawabannya.
"Tapi Bu Rudy masih terlihat sehat dan semangat. Bagaimana Bu Rudy bisa menjaga tubuh tetap bugar?" tanyaku lagi.
"Aku suka melayani, Mbak. Aku senang jika bisa melayani dengan baik, mungkin karena itu, ya. Aku selalu senang," jawabnya akrab.
Ya, di usianya yang sudah tak muda lagi, Bu Rudy memang masih terlihat sehat dan penuh semangat menyambut tamu-tamu yang datang ke restorannya. Dia juga menyempatkan foto dan sedikit ngobrol dengan beberapa pengunjung, Â termasuk kami.
Bisnis kuliner yang dijalaninya ini dimulai sejak 2 Juli 1995. Bermula dengan menjajakan nasi bungkus dengan menu udang goreng renyah dan gurih, Bu Rudy masuk ke sebuah komunitas senam di Surabaya. Dari menu ini, orang mengenal khasnya masakan Bu Rudy yang ternyata justru menjadi legenda kuliner di Surabaya.