Menjelang lebaran, sudah siapkah kita dengan hampers atau parcel yang akan diberikan kepada relasi, sanak saudara, atau kerabat lain?
Samakah hampers dan parcel?Â
Seringkali kita menyamakan istilah antara hampers dan parcel. Padahal, makna harfiah kedua istilah tersebut berbeda.Â
Di Inggris, hampers merupakan sesuatu yang mengacu pada keranjang anyaman yang biasanya berukuran besar, digunakan untuk mengangkut barang atau makanan. Sedangkan di Amerika Utara, hampers mengacu pada keranjang tempat peralatan rumah tangga, bisa berisi baju-baju, laundry atau peralatan kebersihan yang lain. Dari sini, hampers bisa dikatakan merujuk pada bingkisan yang dimuat dalam keranjang.
Beda lagi dengan Parcel, yang dalam bahasa Inggris berarti sesuatu yang terbungkus dengan kertas dan dikirim lewat pos. Parcel merujuk pada paket yang dibungkus kertas dan dikirim lewat pos.Â
Beda arti bukan?Â
Namun, seiring berjalannya waktu, dua kata ini digunakan sebagai istilah yang makin luas tanpa mengubah makna. Bisa diasumsikan antara hampers dan parcel adalah sama, sebagai bingkisan yang dibungkus khusus baik dengan kertas atau keranjang dan hanya pada momen-momen tertentu bingkisan tersebut diberikan. Seperti saat natal, lebaran, kelahiran atau pernikahan.Â
 Pada bulan Ramadhan seperti ini, di jalan-jalan kota hampers dan parcel mulai terlihat dan tertata rapi. Mulai dari yang kecil hingga yang besar. Dari yang berisi sembako, kue-kue lebaran hingga peralatan dapur juga ada.Â
Hampers dan parcel harganya bermacam-macam. Isinya juga bisa disesuaikan dengan kantong pembeli, atau siapa yang akan diberi. Juga tergantung momen yang ada, bisa hampers lebaran, hampers natal, atau lainnya.
Bagi saya pribadi, pemberian hampers atau parcel bisa merujuk pada budaya Indonesia, khususnya Jawa. Dulu, ibu saya selalu memberikan sesuatu kepada orang yang lebih tua saat menjelang lebaran. Entah berupa nasi kuning, kue-kue untuk lebaran, atau bahan makanan lain untuk perayaan Idulfitri.Â
Namun, dengan berjalannya waktu dan kemajuan teknologi, pemberian atau bingkisan itu beralih kemasan. Dengan teknik membungkus dan menata yang bagus, jadilah hampers atau parcel. Penerimanya pun bukan lagi orang yang dituakan, tetapi bisa kepada yang muda tetapi dihormati.Â
Sekarang, banyak perusahaan yang memberikan hampers atau parcel kepada karyawan, pimpinan, atau klien mereka. Baik sebagai hadiah, tanda terima kasih, atau sebagai tanda kehadiran diri pada momen tertentu.Â
Tak ada salahnya memberikan hampers kepada siapa pun. Terlebih kepada mereka yang memang memerlukan. Namun, jika parcel diberikan karena ada kepentingan tertentu, itu yang bisa menjadi masalah.
Bagi pejabat-pejabat yang punya kuasa atas suatu urusan, sebaiknya mencermati terlebih dulu. Adakah niat terselubung di balik pemberian hampers? Bisa jadi, Hal itu justru akan menyulitkan dia nantinya saat membuat keputusan.Â
Kebaikan memang pantas dibalas dengan kebaikan, asal kebaikan itu tidak menyeretnya pada keadaan sulit. Namun, jika menerima parcel yang diembel-embeli niatan buruk, untuk meluluskan niat tak baik, alangkah bijaknya jika berhati-hati.Â
Tak heran, jika beberapa waktu lalu, ada larangan bagi pegawai negeri untuk menerima parcel. Apa pun bentuknya, hampers atau parcel, dikhawatirkan bisa menggoyahkan pejabat tertentu untuk memutuskan suatu urusan.Â
Biasanya, seseorang jika sudah menerima kebaikan dari orang lain, ia kan sungkan dengan si pemberi. Maka, ia akan berupaya membalas kebaikan itu. Khawatirnya, pemberian itu akan berkaitan dengan kedudukan atau jabatan yang diembannya, agar dimudahkan, diloloskan, atau disetujui tanpa mempertimbangkan kepentingan lain.Â
Semoga saja kekhawatiran itu tidak terjadi. Niat baik, perilaku baik, hasilnya pun akan baik untuk semua. Insyaallah.Â
Bagaimana kenyataanya di lapangan?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H