Aku memutuskan hal besar dalam hidupku. Seorang Audrey harus hidup di jalannya sendiri.
 Aku makin memberontak, makin tak tahu aturan. Namun, prestasiku tetap bagus, tetapi bagi mereka hal itu tetap sampah.
 Aku masuk sekolah dasar di usia yang belum genap enam tahun. Dan semua kekerasan atau kejadian menyakitkan itu mulai saat aku kelas satu. Bisa kebayang bukan? Bagaimana hancurnya aku.
Mungkin masalahnya karena pendidikan orang tuaku yang rendah. Namun, ada temanku yang orang tuanya malah buta huruf, tetapi tidak begitu juga pola mengasuh anak-anaknya. Bisa jadi  orang tuaku  tak begitu paham dengan mendidik anak, sehingga kalimat apa yang seharusnya diucapkan dan bagaimana memperlakukan aku dengan baik mereka tak tahu.
Awalnya aku berpikir begitu. Sejujurnya, aku berusaha mengerti mereka beberapa tahun terakhir, tetapi apa katanya?
"Halahh, kamu loh pembangkang, wajar kalo kamu digituin."
Lagi-lagi, aku merasa tersudut.
"Seorang anak tak meminta dilahirkan, seorang anak tak bisa memilih lahir dari rahim siapa. Aku juga nantinya jadi seorang ibu yang tahu betapa susahnya melahirkan, mendidik bahkan melindungi anaknya. Tapi, tak pernah terbersit sedikit pun menganggap mereka beban. Karena yang menentukan saat aku hamil ya aku sendiri. Bukan begitu, Bu?"
Ibuku hanya diam. Aku berpikir sesaat. Tiba-tiba, di luar keinginanku, mulutku melemparkan kata-kata.
"Seorang anak, tak pernah berhutang pada orang tuanya, tetapi orang tua yang berhutang pada anaknya karena telah dengan suka rela menjadi pelengkap hubungannya. Itu pemikiranku."
 Akibat ucapanku, beliau memojokkan lagi dengan berkata, "Ga ada waktu untuk ndidik kamu, kami sibuk cari duit buat makan. Kamu marah karena gak disekolahin kan?"