Namun sayangnya, lagi-lagi kesehatan suami saya lebih utama dibanding dengan usaha yang harus kami jalankan, sehingga kami berusaha hanya semampunya saja.
Berawal dengan menitipkan 30 butir telur hasil asinan ke pedagang sayur keliling yang lewat depan rumah, waktu itu usaha kami sudah lebih berkembang lagi, per minggu bisa menjual 1500 butir.Â
Seminggu sekali juga mengisi stok telur asin di salah satu supermarket dekat dengan rumah kami. Selain itu, juga menitipkan di beberapa warung kopi yang menjadi mitra usaha, serta melayani pesanan lain dari beberapa pelanggan yang sudah pernah merasakan hasil asinan kami.
Namun sayang, meningkatnya permintaan telur asin tidak sebanding dengan produktivitas telur bebek saat musim penghujan. Iklim yang dingin ikut mempengaruhi kualitas telur bebek, selain jumlahnya menurun, besarnya telur juga menyusut. Hal ini menyebabkan pasokan atau persediaan telur mentah untuk diasin berkurang.
Akan tetapi, permintaan telur asin masih bisa dikendalikan. Bisa disiasati dengan mengatur jadwal pengiriman atau mengurangi jumlah kiriman ke tempat yang penjualannya sedikit lalu menambahkannya ke tempat yang banyak permintaannya.
Lagi-lagi, kesehatan suami menjadi faktor penentu, saat dia sakit dan harus opname maka seluruh aktifitas usaha nyaris terhenti. Sementara, jika harus menggaji orang lain sebagai tenaga tambahan, kami masih belum mampu.
Mau tidak mau, kami harus ikhlas menerima keadaan, usaha tetap jalan meski hanya di tempat. Penghasilan per minggu yang tidak lebih dari satu juta, toh masih bisa kami gunakan untuk memenuhi beberapa kebutuhan.
Jika dihitung secara logika, mungkin penghasilan tersebut memang masih jauh dan tidak sesuai dengan standar kebutuhan. Namun, nyatanya selalu ada rezeki tak terduga yang datang, entah pesanan yang tiba-tiba banyak, atau telur yang habis di warung dan di toko.Â
Satu keyakinan kami, rezeki tidak pernah datang terlambat dan salah alamat, Allah telah mengatur segalanya jauh sebelum kami dilahirkan.