Pagi itu, Rendy bergegas menyelesaikan salat Subuh. Ia tampak terburu-buru keluar kamar kos dan melajukan motornya menuju lokasi syuting. Sebagai entertainer baru, ia harus sudah sampai di sana tepat waktu.
Menjadi entertainer adalah impiannya sejak di bangku SMA. Semua peluang ia coba untuk bisa menenangkan salah satu ajang pencarian bakat. Usaha itu pun berhasil, berangkat dari salah satu audisi ia lalu dinobatkan menjadi pemenang setelah melalui proses panjang.
Selain ingin mempromosikan diri dan mencari popularitas, Rendy juga ingin meraih sukses di dunia hiburan dengan cara yang instan. Setelah menjadi artis hidupnya akan berubah, segalanya akan mudah di dapat. Begitu harapannya.
Namun, itu semua tak sejalan dengan keinginan orang tuanya. Ayah dan ibu Rendy menginginkan anaknya sukses dengan jalan lain tanpa harus menjadi seorang figur publik. Bagi mereka, kesuksesan yang mudah diraih maka akan cepat pula berhentinya.
"Ren, Ibu kurang setuju kalo kamu jadi artis. Wajah kamu memang tampan, juga berbakat sekali memerankan tokoh itu. Tapi Ibu ingin kamu lanjutkan kuliahmu. Ayahmu masih mampu membiayai," bujuk ibunya suatu hari saat Rendy pulang ke kampung halaman.
"Bu, aku ingin mandiri, melanjutkan kuliahnya nanti saja setelah aku punya uang sendiri. Aku ingin sukses di bidang ini dulu, Bu. Boleh kan?" Rendy memohon.
"Jadi entertainer itu tak mudah, Nak. Kamu harus bisa membagi waktu dan menjaga kesehatan. Jam berapa kamu berangkat ke lokasi syuting? Jam berapa kamu sarapan? Jam berapa pula kamu pulang dan istirahat? Ingat penyakitmu itu!"
"Ibu nggak perlu kuatir, Rendy bisa jaga diri, kok, Bu, doakan saja Rendy sukses, ya Bu." Setelah mencium tangan ibunya, Rendy kembali ke ibu kota.
***
Tahun berganti, Rendy semakin menikmati kesuksesannya sebagai artis ternama di tanah air. Dari pagi hingga malam, ia lebih banyak menghabiskan waktu di lokasi syuting. Tuntutan dari sutradara yang harus kejar tayang menyelesaikan tiap episode, membuatnya semakin sibuk.
Suatu ketika, datang seorang wartawan dari tabloid wanita. Nama Rendy yang mulai dikenal membuat tabloid tersebut ingin mewawancarainya. Beberapa pertanyaan pun diajukan oleh wartawati itu.
"Mas Rendy, sebagai pendatang baru yang masih muda, sukses, dan sekarang lagi jadi pembicaraan para wanita serta ibu-ibu muda. Apa kiatnya agar bisa sukses sebagai entertainer seperti Anda?" tanya wartawan perempuan itu.
"Apa, ya," jawab Rendy sambil tertawa bangga. "Yang pasti ini semua berkat doa kedua orang tua saya. Saya selalu minta ridhonya," jawab Rendy dengan senyum mengembang.
"Ada kiat lain?" Tak puas dengan jawaban Rendy, reporter itu menanyakan lagi.
"Mungkin ini, ya, saya harus jadi diri sendiri, percaya diri dengan kemampuan saya, konsisten, dan harus mampu menaikkan kemampuan saya. Peka dengan keadaan atau perubahan lah. Biar tidak tertinggal dengan yang lebih baru lagi." Kali ini selain senyum, Rendy juga memainkan alisnya, membuat wanita di depannya itu tersipu.
"Oke, saya rasa cukup pertanyaan kali ini. Terima kasih, Mas." Saat hendak beranjak dari duduknya, wartawati itu bertanya lagi "oh, satu lagi, Mas Rendy, bagaimana dengan pendidikan. Apakah sudah cukup Mas Rendy hanya tamat SMA dan tidak ingin melanjutkan kuliah? Apa tidak takut suatu saat menyesal karena umur semakin tua dan hilang kesempatan itu? Kabar burung berkata, Mas Rendy sudah puas dengan kesuksesan sekarang? Begitu yang saya dengar, apa benar itu? Bagaimana dengan orang tua?"
Bagai tamparan keras, pertanyaan itu membuat Rendy tersadar. Saat ini ia sedang mengalami star syndrome, merasa dirinya sudah terkenal. Ia teringat pernah berjanji dengan Ibu akan melanjutkan kuliah.
Usai syuting malam itu, Rendy minta izin istirahat. Ia mengambil libur esoknya untuk menengok Ibu di kampung. Sutradara pun mengizinkan.
Setibanya di kampung halaman, rumah tampak sepi. Ayah dan Ibu tak ada di rumah dan pagar terkunci rapat. Ia menanyakan pada salah seorang tetangga yang sedang lewat.
Dari tetangga itu Rendy tahu ibunya sedang di rawat di rumah sakit. Tak banyak kata, ia langsung menyusul ke sana.
Di dekat tubuh yang terkulai lemah itu, Rendy berdiri dengan linangan air mata di pipi. Ayah menceritakan bahwa ibunya sakit karena memikirkan putra kesayangannya itu.
Tangan wanita tua itu dipegang, lalu diciumnya. Air mata yang mengalir membasahi punggung tangan ibunda tercinta. Dengan kalimat terbata, Rendy berucap,
"Ibu, Rendy minta maaf. Rendy berjanji akan melanjutkan kuliah seperti keinginan Ibu. Maafkan Rendy, Bu."
Tetiba, wanita itu membuka mata. Suara dan sentuhan Rendy mampu membangkitkan semangatnya. Ia mengulurkan tangan berusaha memeluk putra tercinta.
Namun, tangan itu kembali terkulai lemas sesaat setelah memeluk Rendy. Â Matanya kembali tertutup. Rendy dan ayahnya panik.
"Dokter! Tolong ibu saya!"
Sekian
Sidoarjo, 13 Januari 2021
Any Sukamto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H