"Mas Rendy, sebagai pendatang baru yang masih muda, sukses, dan sekarang lagi jadi pembicaraan para wanita serta ibu-ibu muda. Apa kiatnya agar bisa sukses sebagai entertainer seperti Anda?" tanya wartawan perempuan itu.
"Apa, ya," jawab Rendy sambil tertawa bangga. "Yang pasti ini semua berkat doa kedua orang tua saya. Saya selalu minta ridhonya," jawab Rendy dengan senyum mengembang.
"Ada kiat lain?" Tak puas dengan jawaban Rendy, reporter itu menanyakan lagi.
"Mungkin ini, ya, saya harus jadi diri sendiri, percaya diri dengan kemampuan saya, konsisten, dan harus mampu menaikkan kemampuan saya. Peka dengan keadaan atau perubahan lah. Biar tidak tertinggal dengan yang lebih baru lagi." Kali ini selain senyum, Rendy juga memainkan alisnya, membuat wanita di depannya itu tersipu.
"Oke, saya rasa cukup pertanyaan kali ini. Terima kasih, Mas." Saat hendak beranjak dari duduknya, wartawati itu bertanya lagi "oh, satu lagi, Mas Rendy, bagaimana dengan pendidikan. Apakah sudah cukup Mas Rendy hanya tamat SMA dan tidak ingin melanjutkan kuliah? Apa tidak takut suatu saat menyesal karena umur semakin tua dan hilang kesempatan itu? Kabar burung berkata, Mas Rendy sudah puas dengan kesuksesan sekarang? Begitu yang saya dengar, apa benar itu? Bagaimana dengan orang tua?"
Bagai tamparan keras, pertanyaan itu membuat Rendy tersadar. Saat ini ia sedang mengalami star syndrome, merasa dirinya sudah terkenal. Ia teringat pernah berjanji dengan Ibu akan melanjutkan kuliah.
Usai syuting malam itu, Rendy minta izin istirahat. Ia mengambil libur esoknya untuk menengok Ibu di kampung. Sutradara pun mengizinkan.
Setibanya di kampung halaman, rumah tampak sepi. Ayah dan Ibu tak ada di rumah dan pagar terkunci rapat. Ia menanyakan pada salah seorang tetangga yang sedang lewat.
Dari tetangga itu Rendy tahu ibunya sedang di rawat di rumah sakit. Tak banyak kata, ia langsung menyusul ke sana.
Di dekat tubuh yang terkulai lemah itu, Rendy berdiri dengan linangan air mata di pipi. Ayah menceritakan bahwa ibunya sakit karena memikirkan putra kesayangannya itu.
Tangan wanita tua itu dipegang, lalu diciumnya. Air mata yang mengalir membasahi punggung tangan ibunda tercinta. Dengan kalimat terbata, Rendy berucap,