Mohon tunggu...
Any Sukamto
Any Sukamto Mohon Tunggu... Penulis - Belajar dan belajar

Ibu rumah tangga yang berharap keberkahan hidup dalam tiap embusan napas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengais Hikmah di Balik Cerita Rakyat Sarip Tambak Oso

10 Januari 2021   21:49 Diperbarui: 10 Januari 2021   21:52 4636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar tangkapan layar dari kanal Youtube Dongeng Kita

Pernah dengar nama Sarip Tambak Oso? Ya, nama ini sangat lekat dengan cerita rakyat dari Jawa Timur. Sering sekali dipentaskan dalam pagelaran Ludruk.

Pernah tahu Ludruk? Ludruk adalah kesenian drama tradisional dari daerah Jawa Timur juga. Biasanya mengangkat cerita tentang kehidupan sehari-hari atau bertema kepahlawanan. Diperankan oleh grup kesenian, digelar di atas panggung pertunjukan.

Legenda Sarip Tambak Oso berkisah tentang pencuri yang budiman. Sering menentang kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa di daerahnya, Tambak Oso. Sebuah daerah yang terletak di Kecamatan Waru, Sidoarjo.

Konon, Dusun Tambak Oso dipecah menjadi dua wilayah yang dibatasi oleh sungai. Wilayah Wetan Kali dikusai oleh seorang jagoan bernama Sarip. Sedangkan Kulon Kali dikuasai oleh Paidi.

Sampai sekarang wilayah ini masih ada. Namanya pun masih Tambak Oso. Sebuah wilayah di bagian timur Sidoarjo yang berbatasan dengan Surabaya.

Sarip mempunyai watak yang keras, kasar, pemarah, dan terkesan arogan. Siapa pun yang tidak sepaham dengannya akan "disikat" habis. Namun begitu, dia sangat sayang dan takut pada ibunya.

Kebanyakan watak orang Surabaya atau Sidoarjo memang terkesan keras. Cara bicara yang blak-blakan dan langsung pada topik menjadi ciri khas tersendiri. Namun, itu hanya pada cara penyampaian saja, keramahan dan kebaikan tetap mengiringi gaya berteman mereka.

Sarip merupakan musuh bagi rentenir, orang kaya yang kikir, dan saudagar-saudagar pelit. Tak jarang, barang-barang mereka selalu menjadi incaran Sarip untuk dijarah. Lalu, hasil curian dibagikan kepada orang-orang miskin.

Di mana pun juga, kecemburuan sosial bisa menjadi sebab pertikaian. Terlebih jika si kaya tak mau berbagi dengan si miskin. Hal itu yang mengusik sanubari Sarip.

Bagi warga Belanda, Sarip merupakan musuh utama karena sering menentang kebijakan yang diterapkan. Sering membuat keonaran yang berakibat merugikan mereka. Namun, dia adalah pahlawan yang dermawan bagi warga miskin di sekitarnya.

Suatu hari, ibunya terlibat cek-cok dengan Lurah Gedangan masalah pajak tanah garapan. Tak rela ibunya disakiti, Sarip langsung marah dan menghabisi lurah tersebut. Senjata andalannya adalah pisau dapur.

Bagi Sarip, Ibu adalah "tameng pati" atau perisai dari kematian. Doa restu ibu adalah keutamaan hidup. Begitu sayang dan taatnya dia terhadap ibu yang telah melahirkannya sehingga tak rela siapa pun mengganggu atau menyakitinya.

Di lain kesempatan, Sarip ingin meminjam uang kepada Saropah yang masih sepupunya. Merasa belum mendapat izin dari orang tuanya, Saropah tidak berani memberi pinjaman. Sarip lalu marah bermaksud merampas sesuatu dari Saropah.

Bagaimanapun juga, jika kita menginginkan sesuatu tetap harus mendapat izin dari pemilik. Merebut bukan cara yang baik, terlebih jika si pemilik tidak ikhlas maka tidak akan berkah di tangan kita.

Saat peristiwa itu terjadi, Paidi yang merupakan suruhan orang tua Saropah datang. Paidi merasa bertanggungjawab terhadap Saropah karena sudah diamanahi menjaganya. Pertikaian pun tak dapat dihindari, Sarip tewas di tangan Paidi.

Mengetahui lawannya sudah terkapar tak berdaya, Paidi lalu membuang mayat Sarip ke sungai. Akibat luka di badan Sarip yang masih mengucurkan darah, air di sungai pun jadi merah dan mengalir terbawa arus hingga ke hilir.

Di saat yang hampir bersamaan, ibunya Sarip sedang mencuci di hilir sungai yang sama. Melihat air yang berubah menjadi merah, "Mbok e Sarip" berniat mencari sumber air merah itu. Alangkah terkejutnya saat melihat yang terkapar itu mayat anaknya.

Spontan Mbok e Sarip berteriak,

"Sarip, durung wayah e, Nak!" (Sarip, belum waktunya, Nak!)

Seketika itu, Sarip langsung hidup kembali. Dia lalu bertanya apa yang telah terjadi dengan dirinya hingga tertidur di sungai.

Si Mbok pun bercerita sebatas yang dilihatnya saat itu. Juga bercerita tentang Sarip saat masih dalam kandungan. Tentang ayahnya yang bertapa dan memberinya tanah merah untuk dimakan Sarip dan dirinya.

Dari situlah kesaktian Sarip timbul. Selama ibunya masih hidup selama itu pula ia tak mempan terhadap senjata yang mematikannya. Meskipun seribu kali dibunuh ia akan hidup lagi seribu kali juga.

Orang tua yang gemar melaksanakan tirakat, insyaallah hidup keluarganya akan terjaga. Akan dimudahkan, dilancarkan, dilindungi atau sesuatu yang di luar dugaan. Entah itu rezeki materi atau pertolongan lain.

Hikmah dari cerita ini, ibu merupakan segalanya bagi kita. Kehidupan dan kelangsungan hidup bergantung pada Ibu yang mengasuh dan membesarkan kita. Baik buruk kehidupan juga bergantung pada doa ibu yang menyertai kita.

Sidoarjo, 10 Januari 2021

Any Sukamto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun