Bagi Sarip, Ibu adalah "tameng pati" atau perisai dari kematian. Doa restu ibu adalah keutamaan hidup. Begitu sayang dan taatnya dia terhadap ibu yang telah melahirkannya sehingga tak rela siapa pun mengganggu atau menyakitinya.
Di lain kesempatan, Sarip ingin meminjam uang kepada Saropah yang masih sepupunya. Merasa belum mendapat izin dari orang tuanya, Saropah tidak berani memberi pinjaman. Sarip lalu marah bermaksud merampas sesuatu dari Saropah.
Bagaimanapun juga, jika kita menginginkan sesuatu tetap harus mendapat izin dari pemilik. Merebut bukan cara yang baik, terlebih jika si pemilik tidak ikhlas maka tidak akan berkah di tangan kita.
Saat peristiwa itu terjadi, Paidi yang merupakan suruhan orang tua Saropah datang. Paidi merasa bertanggungjawab terhadap Saropah karena sudah diamanahi menjaganya. Pertikaian pun tak dapat dihindari, Sarip tewas di tangan Paidi.
Mengetahui lawannya sudah terkapar tak berdaya, Paidi lalu membuang mayat Sarip ke sungai. Akibat luka di badan Sarip yang masih mengucurkan darah, air di sungai pun jadi merah dan mengalir terbawa arus hingga ke hilir.
Di saat yang hampir bersamaan, ibunya Sarip sedang mencuci di hilir sungai yang sama. Melihat air yang berubah menjadi merah, "Mbok e Sarip" berniat mencari sumber air merah itu. Alangkah terkejutnya saat melihat yang terkapar itu mayat anaknya.
Spontan Mbok e Sarip berteriak,
"Sarip, durung wayah e, Nak!" (Sarip, belum waktunya, Nak!)
Seketika itu, Sarip langsung hidup kembali. Dia lalu bertanya apa yang telah terjadi dengan dirinya hingga tertidur di sungai.
Si Mbok pun bercerita sebatas yang dilihatnya saat itu. Juga bercerita tentang Sarip saat masih dalam kandungan. Tentang ayahnya yang bertapa dan memberinya tanah merah untuk dimakan Sarip dan dirinya.
Dari situlah kesaktian Sarip timbul. Selama ibunya masih hidup selama itu pula ia tak mempan terhadap senjata yang mematikannya. Meskipun seribu kali dibunuh ia akan hidup lagi seribu kali juga.