Dalam perjalanan pulang, di taksi menuju Sidoarjo air mataku mengalir tak henti-henti. Sekuat itukah aku, hingga kau memberiku ujian seindah ini? Tuhan, adilkah ini?
Keesokan harinya, kutunggu dokter untuk minta penjelasan yang lebih detail. Namun dokter menjawab sudah tidak perlu, "Besok Bapak akan dipindahkan, jadi nggak akan ada yang mengawasi lebih detail kalo di ruangan. Nggak usah diberikan saja obatnya. Ibu terlambat memberi jawaban."
"Maaf, Dok. Saya masih ragu."
"Ya, sudah. Kalo besok semakin membaik lusa boleh pulang," ucap Dokter. Aku pun sedikit lega.
Genap sepuluh hari aku menunggui Mas Rio di rumah sakit. Hari itu memang kondisinya sudah membaik, diizinkan untuk pulang dan harus kontrol tiga hari lagi.
Mas Rio paham dengan keadaanku, hari itu juga sepulang dari rumah sakit aku diajak menuju rumah Bapak. Sudah dua hari Bapak dipulangkan dengan alasan sudah sembuh dan hanya menunggu Bapak mau makan saja.
HP-ku berdering ketika aku dan Mas Rio masih berada dalam taksi. Krisna yang menghubungiku, dia tahu hari itu kami pulang dari rumah sakit.
Tak pernah kuduga sebelumnya, bahwa perjalananku sore itu adalah perjalanan untuk mengantar Bapak berpulang selamanya.
"Bappaak!"
Sidoarjo, 10 Juni 2020
Any Sukamto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H