Seketika mataku terbelalak dan mulutku menganga, “AAPPAA?”
“Widih, yang mau nikah sana kenapa kamu melototnya ke saya?” Lagi-lagi Jesi terkekeh.
Kemudian menjelaskan kalau Pak Ashari sebenarnya sudah punya tunangan, tetapi masih ragu mau menikah, calon mertuanya masih sakit dan entah kapan sembuhnya.
Aku lemas, hampir saja aku berharap akan cintanya, ternyata ia pun sudah punya pilihan. Lantas untuk apa selama ini menahanku? Mengapa seolah memberi harapan meski hanya tersirat, oh, Tuhan.
Aku berlalu meninggalkan Jesi. Langkah gontai kuayun menaiki tangga menuju ruang kerjaku. Tak mengira, ternyata Pak Ashari sudah ada di ruangannya saat aku melintas.
“Pagi, Ranti, gak biasanya deh kamu kuyu begitu. Bukannya akhir-akhir ini sudah ceria?” sapanya saat aku tepat di depan pintu. “Masuk dulu sini, Ran, ada yang perlu aku bicarakan.”
Dengan berat aku mengikuti perintahnya. Sejenak otak sehatku berpikir, mengapa aku harus kecewa, toh Pak Ashari bukan pacarku. Kalau memang dia mau menikah kenapa aku yang kecewa?
Aku duduk di kursi depan mejanya, sambil menunduk aku menanyakan keperluan dia memanggilku.
“Kamu tahu alasanku melarangmu mutasi ke Bali? Karena kamu hanya ingin melampiaskan kekesalanmu. Lingkungan di sana tidak baik, bukan Balinya, tapi lingkungan dekat kantor dan mes kita. Aku sudah pernah tugas di sana dua tahun, dan aku mengalami sendiri.”
Aku tetap menunduk sambil mendengarkan uraiannya. Menurutnya, Bali sangat kuat pengaruhnya. Jika tidak kuat iman aku akan terperosok kehidupan malam yang tak jelas.
“Tapi kan tidak semua orang begitu, Pak. Kembali pada pribadi masing-masing. Selagi kita bisa menahan diri dan tak akan tergoda, why not?”