Hampir tak percaya dengan kenyataan ini. Siang hari bolong dan aku masih di kantor, aku tidak mimpi bukan? Apa yang harus kulakukan untuk menghadapi Pak Ashari?
"Bapak tidak makan siang juga? Titip teman-teman? Atau mungkin sudah bawa bekal?" Lagi-lagi aku masih gugup.
"Haha ... kamu balas dendam, ya? Tanya beruntun seperti kereta api bergandengan," jawabnya renyah sambil menghadiahkan tawa terindah yang pernah kulihat dari wajah tampannya. Oh, my God.
 Pertanyaan demi pertanyaan pun terjawab satu per satu. Kami terlibat pembicaraan yang mengasyikkan. Tak mengira ternyata bos baru ini enak juga diajak berbicara.
Dua bulan memimpin di kantor ini, baru kali ini aku mengenal betul sosoknya. Semula aku menganggapnya berasal dari kota lain, karena memang beliau dipindahkan dari kantor pusat. Ternyata dia berasal dari kota ini juga, hanya saja beberapa kali memang ditugaskan ke kota-kota lain.
Siang itu menjadi siang yang amat berkesan bagiku. Di saat aku larut dalam masalah hubunganku dengan Mas Ardy, si Boss datang memberi hiburan dan suasana lain. Aaahhh...
Sejak saat itu, Pak Ashari sering sekali memanggilku dan menanyakan pekerjaanku. Terkait laporan penagihan dan perusahaan-perusahaan yang masih loyal menggunakan jasa kami.
Tak heran jika yang lain selalu menggodaku saat di panggil si Boss. Ada saja yang berdecak dan sengaja batuk, aku jadi malu. Banyak sekali alasan dan pertanyaan si Boss untuk bisa memanggilku.
Namun, aku tak begitu saja hanyut dalam euforia tersebut. Bagaimanapun juga hatiku masih sakit, aku masih butuh obat. Untuk mengobati luka hingga benar-benar sembuh dan bukan untuk pelarian.Â
***
"Ran, ditunggu Rudi di mobil. Kamu nggak bareng dia?" tanya Jesi suatu sore saat jam kantor usai.