"Apa maksudmu melamarku? Rizal, kuliah saja kita belum selesai, lalu bagaimana anak-anak kita kelak? Kau nafkahi apa aku?" tanya Bibah. Sepertinya, dia menganggap aku hanya bercanda.
"Hidup, mati, jodoh dan takdir ada yang ngatur. Insyaallah kalo niat kita baik dan tulus, Allah akan memudahkan," jawabku tegas.
Bibah pun terdiam. Sejenak berpikir, ada sesuatu yang sepertinya mengganjal di hati perempuan pemilik lesung pipi itu. Namun, dia ragu untuk menyampaikannya.
"Aku tidak ingin setiap hari kita menambah dosa. Kamu cinta aku 'kan? Pikirkan yang kita lakukan saat ini. Berapa lama kita dekat dan mulai akrab? Kita memang tidak saling bersentuhan, kita juga nggak berlebihan, tetapi suatu saat, bisa saja imanku runtuh dan aku nekat dengan syahwatku. Aku mencintaimu, Bibah."
Bibah terdiam. Dia hanya menunduk. Mungkin menyesal karena telah menjadikanku teman dekatnya. Atau mungkin, dia justru sedang mengatur suatu rencana.
***
Pagi itu, aku dan Bibah tak ada jadwal kuliah. Kami pun melanjutkan tidur usai salat Subuh. Ketika terdengar pintu diketuk, aku berusaha bangkit dan membuka pintu. Betapa terkejut saat mengetahui siapa yang datang.
"Asalamualaikum, benar ini kontrakan Habibah?" tanya lelaki itu.
"Benar, Pak," jawabku sambil mengulurkan tangan untuk menjabat tangannya.
"Kok, ada lelaki di sini? Bukankah ini kontrakan mahasiswi? Perempuan semua 'kan yang tinggal di sini ... ?" belum selesai pertanyaan lelaki itu, tiba-tiba Bibah berdiri di sampingku. Tanpa mengenakan jilbab dengan rambut kondisi basah, membuatnya semakin murka.
"Lho, apa-apaan ini, Bibah? Siapa dia?" Pertanyaan ganti tertuju pada Bibah. Tampak amarah dari lelaki yang ternyata ayah Bibah.
Segera Bibah menarik tangan ayahnya dan berusaha mencium. Namun, segera dihempaskan, mata merah dan geraham yang tergigit erat tampak di wajah ayahnya. Bibah pun diam tertunduk.