Siang tadi saya baru saja menonton film Pengabdi Setan 2: Communion. Jujur, film Pengabdi Setan merupakan film horor Indonesia favorit saya.
Saya jatuh hati dengan cara Joko Anwar memandang suatu isu sosial yang ditumpahkan dalam suatu film horor yang luar biasa.Â
Di sekuel pertama Pengabdi Setan, diceritakan bahwa Joko Anwar mendapatkan ide film tersebut ketika melihat sudut pandang terhadap mayoritas perempuan yang ada di Indonesia. Sebagai negara Timur, Indonesia tentunya memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda dengan negara barat.Â
Jika di negara barat lebih bersikap individualis atau istilahnya tidak mau ikut campur dengan permasalahan orang lain, berbeda kasus dengan keadaan di Indonesia.Â
Di Indonesia, tuntutan terhadap perempuan lebih besar. Sebagai contoh, perempuan berusia kepala tiga yang belum menikah dianggap menyalahi aturan dan disuruh untuk cepat-cepat menikah.
Atau contoh lain, perempuan yang sudah menikah dan belum dikaruniai anak, sering mendapatkan kritik dari orang lain agar cepat-cepat memiliki anak. Tapi apakah hal tersebut perlu?
Tentunya tidak. Dan seharusnya kita tidak perlu mengikuti sesuatu yang mungkin kita sendiri tidak nyaman menjalaninya, ataupun seandainya jika kita mau tidak mau menjalaninya hanya karena omongan orang lain. Hal inilah isu sosial yang mendasari dibuatnya film Pengabdi Setan.
Dimana ada seorang ibu yang belum dikaruniai anak dan akhirnya atas ajakan suaminya menempuh jalan gelap untuk bersekutu dengan iblis.Â
Long story short, seperti kita ketahui bahwa melakukan perbuatan tersebut pastinya tidak dengan harga yang murah. Pada akhirnya, perbuatan tersebut berakhir dengan teror tak henti dari sekte dan iblis yang merupakan bagian dari ritual tersebut.Â
Di akhir sekuel pertama, Rini, Ayah, dan kedua adiknya berhasil melarikan diri dan tinggal di sebuah rusun. Bagaimana dengan kelanjutannya?
Setting dan Alur Film
Saya tidak akan terlalu membahas detail mengenai adegan film ini. Mungkin banyak dari pembaca Kompasiana yang belum menonton film ini, jadi saya berharap tidak terlalu spoiler ya.
Tentunya setting lokasi film ini berada di sebuah rumah susun. Saya akui, dibandingkan dengan sekuel pertama, saya jauh lebih menyukai visual yang disuguhkan pada film ini.Â
Tone warna yang hangat disertai nuansa melankolis yang sulit untuk saya jelaskan. Setting waktu di tahun 80an juga terasa sangat jelas, dari segi cara berpakaian, keadaan sekitar, dan peralatan yang ada, seperti radio, televisi yang digunakan pada era tersebut.
Dari segi lokasi rumah susun ini juga diperlihatkan sangat apik yang disorot secara detail per lantainya untuk menunjukkan kengerian dari lokasi tersebut. Berdasarkan informasi, rumah susun tersebut juga sudah tidak ditempati selama 15 tahun.Â
Saya juga melihat bahwa Joko Anwar benar-benar detail menunjukkan bahwa rumah susun tersebut juga tidak terlalu diubah menjadi lebih modern, setting-nya terlihat kusam dan kotor layaknya gedung yang sudah tidak dihuni bertahun-tahun.
Kemudian dari segi pencahayaan, saya pernah melihat interview dari Joko Anwar yang mengatakan bahwa shooting dilakukan dengan pencahayaan yang sangat minim. Terlihat pada hasil film yang dihasilkan betul-betul selayaknya kita berada pada ruangan ketika mati lampu. Sangat gelap.
Dari sisi alur cerita, saya merasa bahwa pada sekuel kedua ini lebih mudah untuk ditebak dibandingkan dengan sekuel pertama. Jika pada sekuel pertama saya agak bingung dengan apa yang akan terjadi setelah adegan tertentu, pada sekuel kedua ini saya lebih bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelahnya.
Teka-Teki pada Teaser
Sebelum saya menonton filmnya, pada teaser kedua yang ditayangkan oleh Rapi Films tersebut, pertama kali melihatnya saya jujur bingung mengapa bisa ada dua jenazah yang berada pada satu kamar yang dibiarkan tanpa ada yang menunggu.Â
Saya juga bingung jika jenazah tersebut adalah hantu, mengapa Toni dan Pak Ustadz terlihat sangat santai menghadapi situasi tersebut.
Dalam imajinasi saya, apakah jenazah tersebut adalah hantu sehingga Toni dan Pak Ustadz tidak melihat mereka, atau ada rahasia tertentu yang belum terjawab pada teaser tersebut?
Tenang saja, karena pada film ini diceritakan dengan jelas dan membuat saya bergumam, Oh jadi begitu ceritanya!
Teror Mengerikan Sepanjang Film
Yang sedikit berbeda dengan sekuel pertamanya adalah lebih banyak adegan yang bersifat gore pada film ini. Seingat saya, pada sekuel pertama hanya ada satu adegan yang agak gore, yaitu ketika anak Pak Ustad meninggal pada kecelakaan.Â
Pada sekuel kedua ini saya pikir ada lebih dari tiga adegan gore yang mungkin lumayan ekstrim. Bagi anda yang memiliki anak kecil, sebaiknya saya sarankan jangan membawa anak anda ketika menonton film ini.
Bagi anda penikmat film horor, saya rasa anda akan sangat puas menonton film ini karena variasi hantu yang disuguhkan juga bermacam-macam. Jadi, tidak hanya terpaku pada satu jenis hantu saja.
Overall, menurut saya Joko Anwar sukses dan berhasil menuangkan pikiran 'gilanya' untuk meneruskan cerita dari sekuel pertama Pengabdi Setan dengan peningkatan yang signifikan. Dari segi visual, musik, suara, karakter, dan ide cerita saya rasa unggul dibandingkan dengan sekuel pertama.Â
Menurut saya, untuk alur cerita bisa dibuat lebih membuat penonton bertanya-tanya, penasaran, serta lebih tidak mudah ditebak. Karena jujur saya masih bisa menebak alur cerita dari sekuel kedua ini.Â
Masih banyak teka-teki yang sebetulnya belum terjawab pada sekuel ini dan isunya akan dibuat menjadi sekuel ketiga. Bagi pembaca Kompasiana yang penasaran, boleh langsung ditonton ya filmnya di bioskop terdekat dan bisa share bagaimana film ini menurut anda.
Saya memberikan rating 8.5/10 untuk film Pengabdi Setan 2: Communion.
Good job untuk Joko Anwar dan semoga banyak karya-karya selanjutnya yang bisa kita nikmati lagi.
-Anya Prilla Azaria-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI